Soeman Hs, Tokoh Sastra dan Pendidikan yang Mulai Terlupakan
SOEMAN HS (LONTAR FOUNDATION)
Soeman Hs adalah tokoh penting sastra Indonesia modern. Dia dianggap penancap tonggak sejarah cerita pendek, meski tetap masih menjadi perdebatan. Sayangnya, banyak generasi sekarang yang tidak mengenalnya, juga karya-karyanya.
GALERI Ibrahim Sattah, Ahad, 8 April 2007.
Ruangan sederhana yang tidak terlalu luas, dengan buku-buku yang terpampang di rak-rak, poster-poster para sastrawan Riau –yang sebagian besar sudah wafat— terlihat berjejer di salah satu sudutnya. Di sebelah kanan pintu masuk, sebuah layar proyektor berwarna putih berdiri tegak di sana. Di depan layar itu, ada sebuah kotak empat persegi panjang yang dibalut kain berwarna putih, dikelilingi enam lilin putih yang cahanya membuat suasana ruangan menjadi temaram dan roman. Sudah sejak awal semua lampu dimatikan.
Beberapa saat kemudian, secara bergantian, tiga orang duduk di atas kotak tersebut, membacakan cerita-cerita pendek Soeman Hs oleh dua mahasiswa Akademi Kebudayaan Melayu Riau (AKMR) yakni Raju A Turangga dan Jeffry Al-Malay, serta Rifaul dari Forum Lingkar Pena (FLP), yang mendapat apresiasi lumayan semarak dari hadirin yang hadir memenuhi ruangan tersebut. Setelah itu, proyektor dihidupkan. Suasana menjadi hening ketika pemutaran film dokumenter Soeman Hs dimulai. Film berdurasi tidak lebih dari 20 menit yang distradarai oleh Arswendi Nasution dan diproduksi oleh Yayasan Lontar tahun 1994 tersebut, menceritakan kehidupan keseharian seorang Soeman lewat narasi Eka Budianta, salah seorang sastrawan Indonesia. “Saya membaca buku-buku Pak Soeman Hs dari koleksi ibu saya. Dan cerita-ceritanya sangat jernih, kadang penuh humor yang satir,” kata Eka dalam salah satu narasinya.
Malam itu, Komunitas Paragraf menyelenggarakan acara sederhana, yakni malam mengenang Soeman Hs yang bertajuk “In Memoriam Soeman Hs” dengan materi acara pembacaan karya-karya Soeman Hs, pemutaran film dokumenter dan diskusi yang menampilkan dua sastrawan Riau, Fakhrunas MA Jabbar dan Abel Tasman, sebagai pembicara. Saking sederhananya acara, ruangan yang digunakan pun tidak luas, yakni di Galleri Ibrahim Sattah, sebuah perpustakaan sastra dan budaya yang belakangan malah sangat tidak populer di kalangan sastra dan seni Riau sendiri. Di ruangan tersebut, buku-buku bagus terlihat berdebu dan bahkan banyak yang hampir lapuk. Namun, tak diduga, ternyata peminat sastra di Riau, terutama Pekanbaru, banyak yang datang, yang membuat ruangan yang tak berpendingin itu menjadi penuh sesak.
“Kami tidak membayangkan peminat acara ini begitu banyak dan antusias. Kami bersyukur kalau acara yang sederhana seperti ini sudah diminati masyarakat sastra Riau. Padahal dalam beberapa kali acara yang kami gelar, pesertanya tidak sebanyak ini,” kata Koordinator Komunitas Paragraf, SPN Marhalim Zaini.
Hampir 60-an orang hadir dalam acara tersebut, di antaranya Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR) Eddy Akhmad RM, beberapa sastrawan seperti Hang Kafrawi, M Paradison, Armand Rambah, Hukmi, Griven H Putra, Herlela Ningsih, Rina SS, Joni Lis Effendi dan beberapa anggota FLP, Bahana Mahasiswa Unri, Aklamasi UIR, beberapa mahasiswa Unri, Lancang Kuning, AKMR, UIN Suska, dan banyak lagi.
***
SOEMAN Hs adalah sosok yang lengkap dan unik. Kecintaannya kepada budaya Melayu bukan hanya kata-kata di bibir, tetapi dibuktikan dalam kehidupan keseharian dan dalam karya-karyanya. Soeman bahkan menyingkat marga yang ada di belakang namanya, yakni Hasibuan, menjadi Hs. Dia pernah menyindir salah seorang pentolan TNI yang lolos dari penculikan saat peristiwa G 30 S/PKI tahun, 1965, Abdul Haris Nasution. “Jika AH Nasution menyingkat nama aslinya, yang saya singkat adalah marga saya,” katanya setengah bergurau. Dia mengaku lebih Melayu dari orang Melayu sendiri, padahal dia lahir dari keluarga Batak di Tapanuli Selatan.
Menurut Fakrunnas, kekuatan seorang Soeman Hs adalah lokalitas Melayu yang sangat kental dalam karya-karyanya, dan penerjemahan dalam kehidupannya sehari-hari. Lokalitas inilah yang menjadi tema utama dalam Kongres Cerpen Indonesia di Pekanbaru, November 2005 lalu. Ketika itu, banyak pembicara seperti Budi Darma, Maman S Mahayana, Melanie Budianta dan yang lainnya, menganggap Soeman Hs memiliki kekuatan dalam karyanya arena konsistensinya dalam membawa aroma lokalitas Melayu dalam semua karyanya. Nyaris tak ada jejak budaya Batak dalam karya-karya Soeman Hs, juga dalam kehidupan sehari-hari.
“Bahkan seumur hidupnya, Soeman Hs tidak pernah pulang ke kampung halaman keluarganya di Tapanuli Selatan,” kata Fakhrunnas yang juga menulis buku biografi Soeman Hs, Bukan Pencuri Anak Perawan, ini.
Menurut Fakhrunnas, tidak seperti AA Navis yang masih tetap berkarya sampai akhir hayatnya, masa aktif kepengarangan Soeman hanya berlangsung dalam waktu 20 tahun, yakni tahun 1925-1945. Karya-karya Soeman adalah Kasih Tak Terlerai (1930), Percobaan Setia (1932), Mencari Pencuri Anak Perawan (1932), Tebusan Dosa (1939) dan Kawan Bergelut (1941).
Sementara menurut Abel Tasman, meski dalam menulis karyanya Soeman Hs masih menggunakan bahasa Melayu lama yang cenderung membosankan, namun pandangannya tentang bahasa telah jauh berbeda dari pengarang Melayu seelumnya, dengan salah satu cirinya adalah lebih bebas berekspresi menggunakan bahasa. Soeman Hs juga dianggap sebagai pelopor penulisan cerita detektif berbahasa Indonesia modern, juga pelopor cerita humor. Sebelumnya, di Indonesia memang banyak beredar cerita-cerita detektif dan petualangan seperti Robin Hood dan Oliver Twist yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sementara cerita detektif asli berbahasa Indonesia belum ada ketika itu. Roman Mencari Pencuri Anak Perawan, adalah cerita detektif Soeman Hs yang paling terkenal. Mengutip Pamusuk Eneste, Abel juga menjelaskan bahwa Soeman Hs harus dianggap sebagai salah seorang pemula penulisan cerpen dalam kesusasteraan modern Indonesia di samping “guru”-nya, Muhammad Kasim.
“Karya-karya Soeman Hs menyeruak dan memberi warna tersendiri dalam sastra Indonesia saat itu yang didominasi karya-karya spionase terjemahan, dan model roman percintaan dari Sumatera Barat seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan dan sebagainya itu,” kata Abel Tasman.
Ada polemik yang cukup hangat ketika roman Kasih Tak Terlerai diterbitkan oleh Balai Pustaka (1930). Dipaparkan Abel, ketika itu staf Balai Pustaka banyak orang Sumatera Barat (Minangkabau) yang mungkin masih asing dengan kata “terlerai” karena kata tersebut tidak ada dalam bahasa Minangkabau. Akhirnya, kata “terlerai” diganti menjadi “terlarai” yang justru tidak ada dalam bahasa Melayu. Hingga cetakan terakhir, judul buku tersebut masih Kasih Tak Terlerai. Menurut Abel, kesalahan tersebut semestinya diperbaiki.
“Tetapi tetap tidak ada perbaikan yang dilakukan oleh Balai Pustaka, meskipun kata 'lerai' sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia,” kata Abel.
***
SETELAH tidak aktif dalam dunia kepengarangan (sastra), Soeman Hs menjadi seorang pendidik dengan mendirikan SLTA pertama di Riau, yakni SMA Setia Dharma (1954). Ada cerita yang cukup unik berkenaan dengan kiprahnya di dunia pendidikan ini. Ketika Mentri Pendidikan dan Perkembangan Kebudayaan (PPK) ketika itu, Muhammad Yamin, datang untuk meresmikannya, Soeman yang mendapat giliran berpidato setelah Yamin, dengan suara lantang mengatakan, “Kita di Riau ini, sebagai anak tiri dari pusat. Di Riau ini, tak ada satupun SMA Negeri. Beda dengan Sumatera Utara, Aceh, Medan atau daerah lainnya. Karena itu, kepada Bapak Menteri, kami mohon agar SMA Setia Dharma ini diberi guru pemerintah,” kata Soeman seperti ditulis Tempo.
Yamin marah. Dia tak mengatakan apapun ketika turun dari panggung dan kemudian kembali ke Jakarta. Yamin kemudian mengirimkan surat kepada Gubernur Sumatera Tengah ketika itu, Marah Ruslan, agar disampaikan pesan kepada Soeman Hs. “Katakan kepada Soeman Hs, dia itu pegawai. Nah, istilah anak tiri itu tak pantas keluar dari mulut seorang pegawai, tetapi dari mulut anggota DPR. Beritahu sama dia!”
Namun, meskipun marah, Yamin ternyata tetap membantu pemerintah daerah Sumatera Tengah untuk mendirikan sekolah SMA Negeri pertama di Riau. Soeman sendiri kemudian ikut mengajar ke sekolah negeri itu karena memang kekurangan guru, dan tetap mengajar di SMA Setia Dharma, sekaligus menjadi pemiliknya.
Soeman Hs lahir di Bengkalis pada 5 April 1904 dari sebuah keluarga bersuku Batak Tapanuli Selatan. Ayahnya, karena pandai mengaji dinamai Lebai Wahid, berasal dari Kotanopan, Tapsel, yang pindah ke Bengkalis karena terlibat pertikaian suku di tanah kelahirannya. Soeman sendiri menyingkat namanya (Hasibuan menjadi Hs) karena kecintaan dan penghormatannya pada suku Melayu, tanah yang membesarkannya dan tempatnya menggantungkan hidup.
Tahun 1912, Soeman masuk SD, dan sejak itulah dia selalu ikut nimbrung ketika ayahnya bercengkrama dengan para saudagar, yang menceritakan kehidupan Singapura. Rupanya, mulai dari situlah daya hayal Soeman --ditambah kecintaannya membaca berlama-lama di perpustakaan milik Belanda di Bengkalis-- berkembang dan kelak menjadi bekalnya sebagai seorang pencerita ulung. Dua buku yang sangat dia minati adalah roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Teman Duduk karya SM Kasim. “Karena membaca Teman Duduk, membuat saya terinspirasi menulis Kawan Bergelut,” kata Soeman suatu kali.
Setelah tamat sekolah, Soeman ikut ujian calon guru. Dia lulus dan kemudian dikirim ke Medan masuk ke Normaal Kursus selama dua tahun, dan setelah itu dikirim Pemerintah Belanda ke Langsa (Aceh) untuk sekolah di Normaal School. Tahun 1923, Soeman diangkat menjadi guru bahasa Indonesia dan dikirim ke Siak Sriindrapura. Tujuh tahun kemudian, datang seorang guru dari Jawa yang memperkenalkan lagu Indonesia Raya, yang kemudian menggugah semangat nasionalismenya. Mereka kemudian sering mengadakan pertemuan di malam hari, tetapi lama-lama Belanda ternyata mengendusnya dan kemudian Soeman “dibuang” ke Pasirpengaraian.
“Jaraknya ketika itu adalah sepuluh hari perjalanan dari Siak. Dan di sana memang menjadi tempat pembuangan guru-guru yang membangkang,” kata Soeman lagi.
Rupanya, dalam “pembuangannya” di Pasirpengaraian inilah Soeman memulai dunia kepengarangannya. Dia sedih melihat kehidupan masyarakat Melayu yang masih “merendahkan” perempuan, yang kemudian dituangkannya dalam dua romannya, Kasih Tak Terlerai dan Mencari Pencuri Anak Perawan. Di daerah terpencil ini pula, Soeman melakukan korespondensi dengan beberapa pengarang seperti Sutan Takdir Alisjahbana yang saat itu bekerja di Balai Pustaka, yang kemudian menerbitkan karya-karyanya. Corak cerita bernuansa detektif dianggap hal baru dalam dunia roman Indonesia, yang membuat karyanya diminati masyarakat.
Tahun 1961, atau tujuh tahun setelah mendirikan SMA Setia Dharma, Soeman mendirikan universitas pertama di Riau, yakni Universitas Islam Riau (UIR). Berselang sepekan kemudian, Pemerintah Provinsi Riau mendirikan universitas negeri, yakni Universitas Riau (Unri). Sebelumnya, bernaung dalam yayasan yang juga mendirikan UIR, Soeman sudah mendirikan SMA Islam, SMP Islam, SD Islam hingga TK Islam. “Saya kira, sekolah-sekolah Islam yang saya dirikan itu menjadi sekolah Islam paling maju di Indonesia ketika itu,” kata Soeman seperti ditulis Suara Merdeka.
Soeman Hs wafat pada 4 Mei 1999. Menjelang akhir hayatnya, dia sering mengeluh dan menyesali, mengapa roman-romannya tak lagi dicetak, sehingga banyak generasi sekarang yang tidak mengenal karya-karyanya itu. Menurut Fakhrunnas maupun Abel Tasman, sudah semestinya karya-karya Soeman menjadi bacaan wajib anak-anak sekolah, khususnya di Riau.
“Tetapi hingga kini, jangan siswa, banyak guru bahasa dan sastra yang malah belum pernah membaca karya-karya Soeman. Ini sangat menyedihkan,” kata Fakhrunnas dan Abel senada.
Padahal, sejarah sastra Indonesia mencatat, Soeman adalah salah satu satrawan terkemuka Indonesia asal Riau yang menjadi salah seorang penancap pancang cerita spionase dan cerita pendek, dalam sastra modern Indonesia. Sayang memang, generasi sekarang banyak yang tak mengenalnya lagi.***
Hary B Kori’un
Riau Pos, 8 April 2007
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















