Ruang Gelap Aira
(GRAFFITISTREET.COM)
KETIKA aku pertama kali menginjakkan kaki di kampus, tak pernah terbayangkan bahwa politik akan menjadi bagian besar dari hidupku. Apalagi membayangkan bahwa politik akan membawa cinta dan kebencian berdampingan dalam satu simfoni yang tak harmonis. Semua bermula dari diskusi kecil di sudut-sudut kampus, hingga berujung pada barikade-barikade di jalanan, meneriakkan suara yang tak didengar penguasa. Di tengah semua itu, aku bertemu dengan Aira.
Aira bukan tipe perempuan yang mudah ditebak. Penampilannya sederhana, selalu mengenakan kemeja berwarna netral dan celana panjang. Namun, ada sesuatu yang membuatnya menonjol di antara kerumunan mahasiswa lainnya. Matanya, tajam dan penuh dengan rahasia yang tersembunyi, seolah bisa menembus segala topeng yang kupakai. Awalnya, aku hanya mengagumi diam-diam, karena Aira jarang sekali berbicara. Ia lebih sering menulis di buku catatannya, entah apa yang ia tulis, tak seorang pun tahu.
Hari itu, ketika aku tengah mempersiapkan aksi besar untuk menuntut keadilan bagi rakyat yang tertindas, Aira mendekatiku. Dengan tatapan yang tak pernah kutemukan pada orang lain, ia bertanya, “Apa yang sebenarnya kau cari dari semua ini?”
Aku terdiam, terkejut dengan pertanyaannya yang begitu langsung dan mendalam. “Keadilan,” jawabku singkat. Namun, di dalam hatiku, aku tahu jawaban itu tak cukup untuknya. “Kita harus melawan ketidakadilan yang dilakukan mereka yang berkuasa. Hak kita sebagai rakyat kecil sudah terlalu lama diinjak-injak.”
Aira tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuatku gelisah. “Keadilan seperti apa yang kau maksud? Dan untuk siapa?”
Pertanyaannya mengusik hatiku lebih dalam dari yang kukira. Keadilan untuk siapa? Bukankah perjuangan ini untuk rakyat? Tapi benarkah setiap langkah kami hanya demi rakyat, atau ada ego yang terselip di sana?
“Untuk kita semua,” jawabku ragu-ragu. “Untuk mereka yang selama ini tak pernah didengar suaranya.”
Aira menarik napas panjang, dan dalam sekejap aku bisa melihat bahwa ada sesuatu yang memberatkan hatinya. “Bagaimana jika keadilan yang kau perjuangkan itu justru menghancurkan hidup seseorang yang kau cintai?”
Aku tertegun, tak tahu harus berkata apa. “Apa maksudmu, Aira?”
Ia menatapku dalam-dalam, seolah mencoba mencari sesuatu dalam diriku. “Kadang, dalam perjuangan kita, kita lupa bahwa di balik semua slogan dan tuntutan, ada kehidupan nyata yang terkena dampaknya. Kehidupan yang lebih dari sekadar hitam putih, lebih dari sekadar benar atau salah. Ada banyak sekali area abu-abu yang tak pernah kita pertimbangkan.”
Malam itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupku. Hari demi hari, Aira dan aku semakin sering berdiskusi. Bukan lagi tentang politik dan aksi, tetapi tentang kehidupan, tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup ini. Di setiap kata-katanya, aku mulai menyadari betapa banyak hal yang selama ini kulupakan. Aku mulai merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan dengan Aira. Ada perasaan yang lebih dalam, yang mungkin tak pernah kumengerti sebelumnya.
Namun, di balik semua percakapan kami, ada sesuatu yang selalu mengganjal di hatiku. Aku bisa merasakan bahwa Aira menyembunyikan sesuatu. Dan akhirnya, pada suatu malam setelah diskusi panjang di kedai kopi, Aira memutuskan untuk mengungkapkan semuanya.
“Kau tahu, aku selalu mengagumi semangatmu,” katanya dengan nada lembut. “Kau memiliki visi yang kuat, dan aku bisa merasakan tekadmu untuk membawa perubahan. Tapi, ada sesuatu yang harus kau ketahui.”
Jantungku berdetak kencang. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang penting yang akan ia katakan.
“Aku bukan hanya seorang mahasiswa biasa,” lanjutnya dengan nada getir. “Aku adalah anak dari salah satu politisi yang sering kau hujat dalam setiap aksimu.”
Kata-katanya menghantamku seperti petir di siang bolong. Aku tak bisa mempercayai telingaku. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Aira, yang begitu dekat denganku, yang selalu berdiri di sampingku, adalah anak dari orang yang selama ini menjadi musuhku?
“Kau pasti bercanda,” kataku, berharap bahwa ini hanya lelucon yang buruk.
“Tidak,” jawab Aira dengan tenang, tetapi aku bisa melihat kesedihan di matanya. “Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi inilah kenyataannya. Ayahku adalah bagian dari sistem yang kau tentang. Dan aku memahami mengapa kau melakukannya, tetapi bagi seorang anak, bagaimanapun jahatnya dunia memandang ayahku, dia tetaplah ayahku.”
Dunia seakan runtuh di sekitarku. Segala sesuatu yang selama ini kupercaya, perjuangan yang kubangun dengan susah payah, semua terasa rapuh dan hancur. Aku mencintai Aira, tetapi bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan perjuangan ini jika berarti aku harus menghancurkan seseorang yang begitu dekat dengannya?
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanyanya lembut, namun aku bisa merasakan ketakutan di balik pertanyaannya.
Aku terdiam lama, mencoba menemukan jawaban. Tetapi setiap kata terasa hampa. “Aku… aku tak tahu,” jawabku akhirnya, suaraku nyaris tak terdengar.
Hari-hari setelah pengakuan Aira menjadi masa-masa yang berat. Setiap kali aku melihatnya, ada perasaan bersalah yang terus menghantui. Aku tak bisa berhenti memikirkan bagaimana perjuanganku mungkin menyakiti seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, aku merasa bahwa menghentikan perjuangan ini berarti mengkhianati semua orang yang telah mempercayaiku, mengkhianati rakyat yang berharap perubahan.
Aksi besar yang kami rencanakan semakin mendekat. Teman-temanku semakin gencar dalam persiapan, dan suasana kampus menjadi semakin tegang. Di tengah kesibukan itu, aku tak lagi merasa seperti diriku yang dulu. Setiap langkah terasa berat, setiap keputusan terasa seperti sebuah beban. Aku mulai mempertanyakan segalanya—apakah aku benar-benar melakukan ini demi keadilan, atau hanya demi egoku sendiri?
Pada hari aksi besar tiba, aku mendapati diriku berdiri di pinggir kerumunan, bukan di barisan depan seperti biasanya. Aku menyaksikan teman-temanku dengan rasa bersalah yang mendalam, mendengar teriakan-teriakan mereka yang dulu kuanggap sebagai panggilan hidupku, kini terdengar seperti kebisingan yang tak beraturan. Di antara kerumunan itu, aku melihat Aira berdiri di kejauhan, matanya menatapku dengan campuran perasaan yang sulit kumengerti. Ada kesedihan di sana, tetapi juga pemahaman yang mendalam. Tanpa perlu kata-kata, aku tahu bahwa kami berdua berada di titik yang sama: di persimpangan jalan, di mana cinta dan politik saling bertentangan, dan tak ada jalan keluar yang mudah.
Ketika akhirnya aksi besar usai dan massa mulai bubar, aku merasa hampa. Aku duduk sendirian di bangku taman kampus, merenungkan segala yang telah terjadi. Dalam diam itu, aku menyadari satu hal yang tak pernah kupahami sebelumnya: hidup ini penuh dengan kontradiksi. Perjuangan untuk keadilan dan cinta terhadap seseorang bisa saling bertabrakan, menciptakan keretakan yang sulit diperbaiki.
Hari-hari berikutnya, aku semakin menjauh dari dunia aktivis yang dulu menghidupi semangatku. Aku tak pernah berbicara dengan Aira lagi setelah malam itu di kedai kopi. Kami berdua tahu bahwa ada dinding yang kini memisahkan kami—dinding yang tak terlihat namun sangat nyata. Dinding yang terbuat dari pertentangan antara cinta dan ideologi, antara keadilan dan kasih sayang.
Hidupku berubah selamanya setelah itu. Aku mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda, lebih terbuka pada nuansa abu-abu yang dulu kupinggirkan. Perjuangan masih penting bagiku, tetapi aku kini memahami bahwa ada lebih banyak hal yang perlu dipertimbangkan—hal-hal yang tak selalu bisa dilihat dari sudut pandang yang kaku.
Dan kehidupan ini ternyata lebih kompleks daripada yang pernah kubayangkan sebelumnya. Di persimpangan jalan antara cinta dan perjuangan, aku belajar bahwa tak semua nada bisa menyatu dalam harmoni yang sempurna. Beberapa nada, meskipun indah, harus dibiarkan menjadi bagian dari simfoni yang tak sempurna, namun tetap memiliki keindahannya sendiri.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan cara untuk menyatukan dua dunia yang kini terpisah dalam hidupku. Atau mungkin aku harus menerima bahwa ada hal-hal yang tak bisa disatukan, dan itu pun merupakan bagian dari kehidupan. Yang pasti, setiap nada dalam simfoni ini memiliki perannya sendiri, dan aku harus belajar menghargai semuanya, bahkan nada-nada yang terlarang di balik barikade.
Dalam kekacauan yang kadang menyertai hidup ini, aku menemukan keindahan yang tersembunyi di antara celah-celahnya. Dan meskipun cinta dan perjuangan tak selalu bisa berjalan beriringan, aku akan selalu mengenang Aira sebagai seseorang yang mengajarkanku bahwa hidup bukan hanya tentang menang atau kalah, benar atau salah.
Hidup adalah tentang memahami, mengasihi, dan terkadang, melepaskan.***
Malang, 29 Desember 2024
Moehammad Abdoe, lahir di Malang, pelopor komunitas Pemuda Desa Merdeka, penikmat film, sejarah, serta menulis puisi dan cerpen yang dimuat di berbagai surat kabar dan majalah nasional.
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















