Kota Kuburan
(istockphoto.com)
KOTA Z dibangun atas impian lama seorang raja yang dulu berkuasa di suatu negeri dengan ribuan pulau. Impian itu bermula dari pengalaman masa kecilnya yang tragis; ia ditinggal mati ibunya setelah sang ayah kedapatan selingkuh. Rumah masa kecil raja itu berdiri di area gersang yang mana orang lebih suka mempertahankan sumber air yang jumlahnya tak banyak, ketimbang saling berlomba mendapatkan uang atau bahkan emas. Maka, raja yang kala itu masih belia mendambakan rumah dengan sungai jernih yang mengalir di bawahnya.
Tahun-tahun panjang ia jalani dengan tekad luar biasa kuat demi bisa minggat dari tanah leluhurnya, melakukan segala cara untuk menang atas banyak hal dan mendapat banyak teman sekaligus mendulang banyak musuh, tapi selalu ada cara untuk menang. Ia mulai berambisi menguasai satu dan dua hal, dan keadaan itu terus berlanjut karena manusia tak pernah akan puas; ia ingin menguasai hal-hal lainnya. Suatu kali lelaki itu menjadi raja setelah menumbangkan raja di salah satu negeri terindah dengan cara-cara yang sangat licik.
Beruntunglah, negeri yang berada di bawah kekuasaannya itu punya ribuan pulau dan sungai dan impian masa kecil segera menari-nari di jidatnya; dia langsung menulis surat perintah pertamanya: membangun ibu kota dengan air sebagai jalan rayanya. Tentu amat sulit membayangkan keinginan macam itu, tapi para arsitek dan ahli pembangunan bekerja dengan baik dan mampu memenuhi perintah pertama sang raja. Sejak itu, kota yang di masa depan akrab disebut Kota Kuburan ini, telah menjadi daya tarik tersendiri dari negeri indah itu.
Hanya saja, beberapa puluh tahun setelah raja tersebut berkuasa, Kota Z tak sebaik saat pertama “dilahirkan” dan dianggap sebagai surga bagi para pendatang dari pulau- pulau terpencil yang berada di bawah kekuasaan raja itu.
Kota Z, karena tak lagi bisa menampung pendatang, mengembangkan lahan hingga terpaksa menimbun sebagian sungai dengan tanah dan batu untuk gedung-gedung baru. Atas dasar ini, orang beranggapan, “Tidak apa menghilangkan beberapa anak sungai di kota ini, selama kita bisa hidup makmur.”
Karena anggapan itu tak pernah dibantah, setiap tahun penghuni Kota Z terus dan terus bertambah.
Pada saat itu Kota Z adalah pusat perdagangan dan menjadi surga bagi para pencari peruntungan. Orang bisa saja menjadi saudagar terhormat dari yang tadinya hanya orang dekil merana setelah beberapa tahun bergelut di Kota Z, andai ia mampu. Banyak orang dari pulau terpencil menjadi terhormat setelah berjuang sedemikian keras di Kota Z, tapi tak sedikit juga yang gagal dan menjadi gila atau bunuh diri. Ringkasnya, Kota Z kota terhebat sekaligus kota yang diciptakan untuk para pemenang.
Pada dekade ketiga setelah raja itu berkuasa, keadaan kota semakin tidak terkendali. Ini disebabkan saking banyaknya orang makmur dan mereka tak pernah sudi mengalah demi merenggut keinginan masing-masing. Beberapa pembunuhan terjadi tanpa diusut pelakunya. Mereka yang membayar lebih pada pihak berwenang, akan menang dengan atau tanpa bantuan hakim.
Suatu hari raja yang lama menderita penyakit diabetes, meninggal dalam insiden di alun-alun kota yang tak ubahnya danau raksasa dengan patung-patung eksotik. Insiden itu menjadikan raja yang kegemukan mati tenggelam usai perahu kerajaannya tertabrak kapal pesiar ketika ia menyapa rakyatnya.
Tak ada yang tahu nasib nahkoda kapal pesiar itu. Mungkin saja ia mati digantung. Mungkin seseorang dari istana menembaknya. Barangkali saja kabur diam-diam dengan menerjunkan diri ke air, lantas menyelam ke tepi kota yang jauh. Namun, tidak ada yang peduli pada nasib nahkoda itu, sebab kerusuhan tidak terhindarkan. Kematian raja mengubah situasi politik. Terlalu banyak musuh yang kemudian mengambil celah untuk menghasut agar orang-orang menggila. Mereka yang sejauh itu tidak mendapat peluang untuk menang di Kota Z, melihat kesempatan ini.
Pasca-kerusuhan yang terjadi sekira dua minggu, Kota Z berangsur pulih, tetapi ia bukan lagi kota yang dulu. Kini Kota Z bukan didominasi kaum konglomerat saja. Kini Kota Z dihuni hampir setiap orang yang menginginkannya; mereka yang tadinya sering menentang raja dengan syair-syair tajam, juga yang lama memendam dendam sebab raja menghabisi siapa pun yang melawan kebijakannya sejak ia mulai berkuasa, menempati tanah-tanah tak bertuan setelah para pemiliknya mati dalam kerusuhan.
Sungai-sungai segera lenyap dalam hitungan tahun. Rumah demi rumah didirikan di berbagai penjuru sampai bagian perairan yang tersisa dari kota itu hanyalah sebuah danau di dekat perpustakaan kota yang jarang disambangi bahkan sejak sang raja masih hidup.
Ada hikayat mengerikan tentang danau itu yang bertahan hingga ratusan tahun usai kematian raja pendiri Kota Z. Ribuan mayat korban kerusuhan kala itu, karena tidak ada tempat yang tepat untuk menguburkan mereka, ditenggelamkan dengan karung-karung yang diisi bebatuan ke dasar danau. Beberapa orang saksi menyebut mayat-mayat orang malang tadi terkubur juga dalam pondasi bangunan-bangunan baru tanpa orang sadari, sebab tak semua mayat dibuang di danau. Tapi kesaksian seperti itu menjadi tak penting sebab kisah tentang danau jauh lebih melegenda hingga banyak orang di masa depan selalu mengaitkan perubahan kota dengan danau tersebut. Danau itulah yang mungkin layak dijadikan semacam monumen untuk mengenang runtuhnya Kota Z yang dahulu sangat disayangi rakyat, seandainya kota tersebut masih beradab.
Oh, ya, tentu saja orang hanya bisa berandai-andai tentang kota yang masih punya harap untuk kembali beradab seperti dulu sebelum kecelakaan membikin raja itu mati. Pasalnya Kota Z di masa depan dihuni kaum bajingan; orang-orang yang pernah ditahan di penjara terpencil. Mereka bukan hanya pernah membuat para musuhnya dalam dunia kriminalitas cacat, melainkan juga membakar ratusan rumah serta tempat bisnis legal, dan melecehkan banyak wanita, menculik anak-anak tidak berdosa untuk dijual sebagai budak, dan tentu saja menghabisi nyawa siapa pun yang melawan. Bahkan beberapa di antara mereka yang membunuh itu tak jarang menyantap para korbannya.
Orang-orang keji macam itulah yang menghuni Kota Z di masa depan. Sebelum sang raja tenggelam dalam insiden alun-alun itu, orang tak akan membayangkan betapa kota yang indah tersebut pada akhirnya mendapatkan julukan sebagai Kota Kuburan. Itu terjadi sebab terlalu banyaknya tulang-belulang yang bersemayam di dasar danau, dan semakin parah keadaan dengan bertambahnya mayat-mayat baru yang entah milik siapa.
Mayat-mayat baru itu ditemukan secara tak sengaja oleh kapal selam para pemburu harta karun di sebuah sore yang hangat bertahun-tahun setelah Kota Z ditinggalkan oleh orang-orang yang enggan membuat masalah dengan para penjahat. Mereka yang hobi mencari sensasi mistis dengan menyelami dasar danau juga menemukan hal yang sama. Mereka bersumpah melihat mayat-mayat baru yang masih membengkak dan berdaging di antara tumpukan tulang-belulang korban dari kerusuhan di masa lalu. Tak pernah ada yang tahu mayat siapa sajakah itu, tentu saja. Polisi juga tak pernah mau bertindak jika saja seseorang berkata, “Coba kalian periksa dasar danau itu.”
Tak ada kalimat lain yang terucap selain, “Oh, itu tempat orang-orang di masa lalu membuang mayat teman-teman mereka sendiri.”
Hingga ratusan tahun kemudian, mungkin pada tahun 2359 Masehi atau barangkali tak perlu terlalu jauh, yakni tahun 2224 Masehi, seandainya kota tersebut masih hidup, dasar danau menyimpan lebih banyak mayat dari yang seharusnya. Itu terjadi karena di Kota Z terjadi semacam kesepakatan bersama yang tak tertulis: barangsiapa yang sudah membunuh musuh, diperbolehkan membuang mayat-mayat mereka ke danau itu, dan tak akan ada orang yang menemukannya.
Entah siapa yang memulai tradisi itu. Tidak ada catatan tentang itu. Para penghuni Kota Z sebagai kota kuburan tak juga memusingkan keadaaan ini. Mereka hanya peduli bagaimana mendapat kemenangan demi keinginan-keinginan lama mereka, yang boleh jadi datang dari masa kecil bersama seorang ayah yang tukang selingkuh dan sesosok ibu yang mati cemburu.***
Gempol, 2020-2025
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, Jawa Timur, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024).
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















