Sudar Oh Sudar
HARMONYART.COM
SUDAR telah mati. Demikian kebenaran berita itu saya dengar. Andaikata ia hidup kembali, tidak mungkin gundukan tanah di pemakaman desa itu masih basah dan di nisannya tertulis jelas namanya berikut tanggal lahir dan kematiannya.
Jelas-jelas pagi tadi saya menggotong kerandanya bersama beberapa lelaki teguh hingga ke liang lahad. Sebelumnya, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, paman memandikannya lantas mengafaninya. Dan paman pula yang mengimami salat jenazah di masjid yang terletak beberapa langkah dari rumah Sudar, kendati semasa hidup tak pernah Sudar menginjakkan kaki ke rumah Tuhan itu.
Tentu saja jasad itu adalah Sudar, bukan orang lain berwajah Sudar, apalagi seseorang yang menyamar sebagai Sudar. Saya mengenalnya sebagai pribadi yang baik, lelaki yang mencintai istri dan tiga anaknya, dan peduli tetangga di lingkungan sekitar. Sebab, tak pernah saya dengar dan lihat ia melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan buruk didengar dan dilihat.
Sudar telah mati. Demikian berita itu diperbincangkan orang-orang yang mengenalnya atau baru mendengar namanya-dari mulut ke mulut, dari warung kopi satu ke warung kopi lain, dari tempat satu ke tempat lain. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Sudar memang bukan ketua RT, RW, bahkan kepala desa. Akan tetapi, namanya begitu mudah diingat berikut sikap yang ditunjukkan semasa hidup-seperti yang sudah saya bilang, ia pribadi yang baik, lelaki yang mencintai istri dan tiga anaknya, dan peduli tetangga di lingkungan sekitar, sebab tak pernah saya dengar dan lihat ia melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan buruk didengar dan dilihat.
Tidak ada nama lain selain namanya di desa ini. Tentu, tidak lain tidak bukan hanya ia seorang yang memanggul nama itu sedari lahir hingga dicatatkan di catatan sipil setempat dan tertera di KTP yang diparaf oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di kabupaten. Menurutnya, nama bukan sekadar nama. Ia tak percaya dengan ungkapan, "Apalah arti sebuah nama". Nama yang diembankan kepadanya bukan nama main-main. Konon, sewaktu sugeng, orang tua Sudar bermimpi dikunjungi orang tuanya yang sudah mati. Kata orang tua orang tuanya Sudar, di alam sana mereka berjumpa dengan orang tua mereka yang mengamanahi supaya kelak jika masih diizinkan diberi keturunan agar dinamai Sudar. Entah bagaimana mereka-mereka itu bisa berpendapat bahwa nama Sudar merupakan nama yang cocok untuk keturunan mereka kelak. Padahal tidak ada yang bisa diyakini tentang muasal nama itu, terlebih Sudar sendiri. Meski ia mengenyam pendidikan tinggi melebihi orang tuanya dan orang-orang di desanya, namun kebenaran makna nama itu dapat dipastikan menemui jalan buntu, bahkan oleh para pengajarnya.
Sudar. Su-dar. Ya. Itu saja. Tidak lebih. Apalagi lebih dari itu.
Meski demikian, semasa hidup, Sudar tidak begitu tertarik membahas perihal nama yang disematkan kepadanya. Menurutnya, biarlah hal itu menjadi urusan orang tuanya ketika memberikan nama itu. Hanya itu. Sudar lebih tertarik membincangkan perihal khotbah Jumat yang didengarnya beberapa hari menjelang kematiannya.
(Saya perlu ceritakan hal ini: memang benar Sudar tidak pernah ke masjid yang memang dekat dengan rumahnya walaupun untuk salat Jumat. Namun, pada Jumat itu entah mengapa ada kekuatan tidak kasatmata yang mendorongnya menunaikan salat Jumat. Oleh sebab itu, gegas ia mandi, mengenakan baju takwa yang selalu dibelikan istrinya saban lebaran meski tak pernah dipakainya, lantas mencelat ke masjid yang baru saja turun azan kedua. Begitu kiranya).
Terkisahlah, dalam khotbah itu, demikian yang didengar oleh Sudar, Junjungan Agung bersabda, sesungguhnya Allah azza wajalla berfirman bahwa Ia menciptakan malaikat cahaya yang kepalanya berada di bawah arasy, sementara sayap kanannya berada di barat dunia dan sayap kirinya di timur sedang kakinya ada di dalam bumi lapis tujuh, maka apabila kedua sayap itu dicelupkan ke dalam lautan cahaya arasy dan dikibaskan maka setiap tetesan yang jatuh ke bumi menjelma malaikat-malaikat cahaya yang senantiasa mendoakan dan memintakan ampun seorang abid terkasih hingga hari akhir nanti.
Sudar terpesona mendengarkan khotbah itu. Sungguh, betapa tak pernah ia dengar petuah semacam itu yang mampu menggetarkan jiwanya dan menggerakkan tubuhnya untuk menyimaknya dengan saksama. Apakah memang demikian kekuasaan Allah subhanahu wa ta'ala. Entahlah.
Berhari-hari Sudar merenungkan khotbah itu, di waktu pagi berembun, siang yang memancarkan panas, sore yang teduh, dan malam yang kadang cerah penuh gemintang dan bulan. Atau, ketika hari hujan diiringi gemuruh petir dan angin. Baru kali ini, seumur hidupnya, sepanjang perjalanan kariernya sebagai pembunuh, sebuah petuah mampu menelusup ke dalam pikirannya dan merasuk ke dalam relung kalbunya yang paling dalam, bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa menciptakan makhluk sedemikian rupa seperti malaikat itu. Bagaimana mungkin sesosok malaikat mempunyai cahaya yang begitu luas dan melalui tetesannya mengalir rahmat yang agung berupa pengampunan. Apakah dosa-dosanya selama ini dapat diampuni? Sementara berpuluh bahkan beratus nyawa telah direnggutnya dengan tanpa pikir dan belas kasih seolah dengan mengalirkan darah adalah suatu pekerjaan yang benar-benar biasa. Begitu biasa sehingga dengan membunuh ia tidak mempunyai pekerjaan lain sebagai sandaran hidup dan menafkahi istri dan anak-anaknya.
Betapa hal itu mustahil baginya.
Tapi, bukankah Allah Maha Pengampun?
Mengapa pula pada detik ini ia ingat nama penciptanya itu?
***
SESUNGGUHNYA tiada seorang pun yang tahu siapa sebenarnya Sudar. Termasuk pekerjaannya yang mengerikan itu. Orang-orang kampung hanya tahu, Sudar orang baik, gemar membantu bila sedang ada kegiatan di sekitar rumahnya. Ia juga dikenal supel dan ramah terhadap warga, dan tak lupa bersedekah. Walau, itu tadi, tiada sekalipun ia tampak beribadah di masjid di dekat tempat tinggalnya.
Meski demikian, paman pernah mengingatkan Sudar supaya turut berjamaah di masjid, kendati paman sering tak enak hati bila berhadapan dengannya. Tentu sudah sepatutnya dalam kehidupan bermasyarakat, saling menasehati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran, merupakan salah satu ajaran agama dan kehidupan yang ingin paman tularkan. Apalagi sebagai tetangga terdekat, paman berkewajiban mengingatkan bilamana orang terdekatnya-paling dekat rumahnya-melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tata norma bermasyarakat. Saya juga sering ditegur paman, terutama perihal salat, meski saya menyadari banyak perbuatan saya yang kurang di mata agama dan masyarakat.
Dalam pada itu, paman bukanlah orang berpendidikan tinggi. Tidak seperti Sudar, paman hanya tamatan SR dan lebih banyak mengaji di masjid dibimbing Kiai Mubin. Barangkali kalian tahu-atau hanya membaca sejarah di buku-buku sejarah terbitan Orde Baru-bahwa sekolah di masa penjajah, baik Hindia Belanda maupun Jepang, begitu sulit dan hanya anak-anak ningrat yang bisa sekolah setinggi-tingginya. Bagi paman, mengaji di masjid lebih banyak ia peroleh ilmu-terutama ilmu agama-dan tentu berguna untuk mengarungi kehidupan, di sini dan di sana.
Akan tetapi, tidak pernah tebersit dalam hati paman untuk menggurui Sudar. Sudar tetaplah Sudar. Dan paman bukanlah orang tuanya yang berhak menyuruh ini dan melarang itu. Paman hanya bisa mengingatkan-kalaupun Sudar mau diingatkan-sebab memang begitulah pelajaran moral yang pernah dipelajarinya sewaktu mengaji dulu. Sebuah bentuk welas asih akan kehidupan sprituil sesama saudara seiman.
Oleh karena itu, sebagai tetangga, paman memutuskan bertamu ke rumah Sudar. Barangkali dengan sedikit bimbingan hatinya akan terbuka, begitu pikir paman.
Sudar menyambut paman dengan hangat. Seperti saudara kandung sendiri yang datang dari jauh. Paman menyampaikan maksud kedatangannya usai memberi salam dan berbasa-basi soal kabar masing-masing. Sudar terkejut. Wajahnya tiba-tiba memerah. Matanya menunjukkan seolah ia benar-benar tidak menyangka akan mendapat nasehat semacam itu. Paman merasakan ketidaknyamanan Sudar. Lantas, buru-buru paman meminta maaf, bahwa tidak ada maksud tertentu paman berkata demikian apalagi sampai mendakwahinya sedemikian rupa.
Tapi mimik Sudar lantas berubah.
“Sebenarnya saya adalah seorang pembunuh.”
Paman terkejut tak alang kepalang. Tapi ia hanya menahan diri dan tetap menyimak.
“Menurut hitungan saya, saya telah membunuh sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang. Dari berbagai kalangan dan profesi. Mulai dari gelandangan hingga menteri. Dari golongan rakyat hingga pejabat. Dengan beragam cara dan juga menurut suasana hati. Saya ingin berhenti, setelah saya genapkan menjadi seribu. Nah, kebetulan paman ada di sini. Saya bermaksud menghabisi paman sebagai orang keseribu itu.”
Sudar berkata demikian sambil nyengir. Sementara paman merasa kunjungannya benar-benar sebuah kesalahan. Sekelebat kengerian bertahta di hati paman. Namun paman tetap tenang dan menahan diri.
“Jika memang demikian, silakan, Dar. Tuntaskan ambisimu. Setidaknya, sebagai tetangga dan saudara seiman, saya telah menyampaikan suatu pesan kebenaran menurut ajaran agama dan Kitab yang saya pegang dan yakini.”
Sudar sungguh tak menduga paman akan berkata demikian. Selama ini, semua korbannya memohon pengampunan supaya tidak dibunuh, bahkan rela memberikan apa saja yang Sudar inginkan. Namun semua itu tak menyulutkan niat semula Sudar. Baginya, membunuh adalah membunuh. Menghilangkan nyawa sesuai pesanan atau perintah si pemberi upah. Meski ada beberapa yang memang atas keinginan pribadi. Tapi, yang ini lain. Paman seperti tak takut dengan kematian, seolah kematian adalah keniscayaan, dan siapapun akan menghadapinya, cepat atau lambat cuma soal waktu.
Entah dari mana asalnya, seolah ada semacam kekuatan yang menuntunnya.
“Tapi saya ingin bertobat, paman, apakah ada pengampunan bagi seorang seperti saya, yang telah melakukan dosa sedemikian besar itu?”
Dengan penuh kebapakan, paman menjawab, “Tentu saja. Gusti Allah ora sare, tidak tidur. Ia tahu apa yang terbaik untuk hambanya.”
“Termasuk cerita yang kudengar dalam khotbah Jumat lalu?”
Paman tergeragap mendengar pertanyaan Sudar tentang khotbahnya pada Jumat lalu. Apakah mungkin Sudar turut salat Jumat pekan lalu?
Dengan penuh keyakinan, paman menjawab, “Termasuk cerita yang kau dengar dalam khotbah Jumat lalu.”
Kekuatan tak kasatmata itu kembali mendorong Sudar. Seumpama petir menyambar di kelam malam. Kilatnya menerangi langit cakrawala. Tanpa menghiraukan paman, Sudar gegas keluar rumah hendak menuju masjid dekat rumahnya. Sudar ingin bertemu Allah, mengharap tetesan cahaya malaikat itu, meminta pengampunan atas dosa-dosa pembunuhan yang dilakukannya selama ini.
***
DI sisi lain dunia, dua malaikat pencatat amal bertengkar. Keduanya berdebat tentang nasib Sudar. Malaikat pencatat amal buruk menganggap Sudar pantas dijebloskan ke neraka mengingat dosa-dosanya yang kelewat batas itu. Sementara malaikat amal baik beranggapan bahwa Sudar layak diampuni dan masuk surga sebab ia sudah berniat taubat. Masing-masing mempunyai argumen dan perdebatan pun seolah menemui jalan buntu.
Dalam pada itu, Allah azza wajalla memerintahkan kedua malaikat itu mengukur: di antara rumah dan masjid, tempat mana yang lebih dekat dengan matinya Sudar.***
M Firdaus Rahmatullah lahir dan tinggal di Jombang, Jawa Timur. Menggemari sastra dan kopi. Cerpen dan puisinya pernah tersiar di beberapa media cetak dan daring serta antologi bersama. Buku tunggalnya Cerita-cerita yang Patut Kau Percaya (2019), Langit Ibu (2022), dan Sisa Sajak (2024). Tahun 2021 beroleh apresiasi GTK Creative Camp Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur kategori penulis buku fiksi terbaik. Berkhidmat di SMKN Mojoagung Jombang sebagai guru Bahasa Indonesia.
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















