CERPEN RORI MAIDI RUSJI

Pasar Janda

Cerpen Senin, 01 September 2025 - 05:01 WIB | 244 klik
Pasar Janda

(DIVIANTART.COM)

MATA wanita itu  memandang ke muka Leman—sepi serupa malam ini. Biasanya malam seperti ini sudah berpeluh di kening wanita itu. Ini malam Kamis, seharusnya keramaian sudah memekak, entah itu di bangku dalam warung atau di bangku luar. Biasanya para pemilik ladang saling sikut untuk mendapatkan pekerja—baik untuk menyiangi ladang maupun pekerjaan kasar lainnya.

Sesekali Leman mengetuk meja dengan tiga jarinya, berirama seperti sedang menabuh gendang. Ia bernyanyi dalam hati, menghibur diri agar tak terlalu bingung. Leman jarang berbicara berdua dengan wanita itu. Sejak beberapa hari setelah pernikahan, Leman tidak lagi seromantis dulu. Tak seperti masa mereka berpacaran, di mana Leman selalu berusaha mengusir kekosongan dengan obrolan.

Wanita paruh baya itu tampak mengupas bawang di meja gerobak warung. Dia adalah istri Leman. Dari remang lampu luar, tampak seorang pria tambun bertubuh gelap. Kumis tebalnya seperti memantulkan cahaya lampu ke tubuh istri Leman. Mereka tak terkejut; Bujang memang langganan tetap warung itu. Seperti biasa, Bujang mengangkat ikat pinggang sebelum duduk, mengerutkan pipi mendekati mata, lalu memesan kopi pahit setengah gelas—lebih tepatnya satu gelas kecil. Tak butuh waktu lama bagi istri Leman untuk menyajikannya.

Satu demi satu pelanggan berdatangan, dengan gaya masing-masing: ada yang datang dengan wajah cengengesan, ada pula yang langsung menepuk meja. Leman dan istrinya sudah terbiasa dengan itu. Leman akan setia menguping perbincangan pelanggan, menimbang meja mana yang ingin ia dekati. Ia tidak banyak membantu istrinya, karena menurutnya hasil dari warung itu tak berdampak besar pada keuangannya.

Leman menarik bangku tak jauh dari meja Bujang. Ia mendengar Bujang butuh banyak pekerja untuk menyiangi ladang. Bila soal menyiangi ladang, Bujang biasanya mencari para janda. Di kampung ini, pekerjaan itu memang dilakoni para janda—baik yang tua, ataupun jika mujur, janda muda yang masih kuat tenaganya. Bujang semeja dengan Leba, pria yang juga tuan tanah. Mereka berdua memang memiliki ladang yang luas.

Mata Leman menatap jauh ke sudut pasar. Terlihat sekelompok wanita berjalan menuju warungnya. Perkumpulan seperti itu lazim terjadi di pasar ini saat malam Kamis. Salah seorang dari mereka mendekat ke meja. Sisanya menunggu di los pasar. Wanita itu duduk tanpa ragu, dengan gaya setengah merayu. Bibir bawahnya tergigit giginya, wajahnya penuh bedak, dandanannya menor. Ia mulai menanyakan lowongan kerja, menawarkan diri bekerja dalam kelompok "serikat", istilah orang kampung. Para pencari kerja ini biasanya punya serikat tak resmi, tapi cukup untuk saling bantu. Semua anggotanya janda, dengan latar berbeda: ada yang ditinggal mati, ada yang meninggalkan suami, ada pula yang ditinggal tanpa kabar.

Bujang memanggil mereka dari los pasar. Mata Leman terpaku pada seorang janda muda, wajah yang belum pernah ia lihat. Kenapa wanita ini sampai mencari pekerjaan kasar di kampung ini? Saat Bujang menegosiasikan gaji, Leman sibuk menegosiasikan hati dan pandangan. Ia membayangkan—seandainya belum menikah, tentu wanita ini cocok jadi pendampingnya. Tak seperti istrinya yang kini bermuka keras, tak selembut janda itu.

Leman memperhatikan penampilan janda itu serius: dari sandal jepit yang longgar, hingga lipstik tipis di bibirnya. Kulitnya kuning langsat. Mungkin, kalau serikat mereka jadi bekerja di ladang Bujang, ini akan jadi pengalaman pertama janda itu di pekerjaan kasar. Bola mata gadis itu seperti memancarkan harapan; sesekali ia melirik ke arah Leman. Dalam beberapa tatapan, Leman menguyupkan bibirnya, mengedip sebelah mata—dan dibalas serupa. Seolah menggoda balik. Leman berharap Bujang, Leba, dan istrinya tak melihat tingkahnya. Janda itu makin menjadi, mengusap tengkuk sambil terus menguyup bibirnya.

"Leman!" Suara itu membuat Leman terperanjat, hampir menumpahkan kopi. Dari gelagat istrinya, tampak ia curiga. Ia tahu benar tabiat suaminya bila sedang berimajinasi kotor—barangkali karena ia juga sering mendapat perlakuan serupa kala Leman ingin berhubungan badan.

"Sebelum matamu berwarna merah dan kerasukan," bisik istrinya sambil menunjuk ember berisi gelas dan piring kotor. Itu tanda waktunya habis—Leman harus ke dapur atau kamar mandi. Malam ini, ia harus rela meninggalkan pasar janda. Besok hari pekan, ia akan sibuk dari pagi sampai malam, mengangkut karung-karung gambir ke pekan dan ke rumah tauke.

Dengan wajah muram, Leman mengangkat ember kotoran. Bayangan janda tadi masih melekat. Ia tak mau pergi—bertahan dalam mata Leman, atau mungkin Leman sendiri yang membawanya ke sumur. Di sana, bayangan bibir janda itu makin hidup: pindah dari piring ke gelas, dari air kotor ke langit-langit dapur.

Leman bersiul kecil, menanti air mendidih untuk dipindahkan ke termos. Lelah bersiul, ia meniup saluran api, memastikan kayu tetap silang di tungku. Tak lama lagi air akan mendidih. Barangkali, janda tadi belum pergi dari meja Bujang.

“Bruk!” Suara dari belakang dapur mengejutkan Leman. Ia cemas—belakang pasar masih bersemak. Perlahan ia naik ke kursi, mengintip lewat ventilasi. Matanya liar, menelisik ke atas, kiri, kanan, lalu ke bawah. Ia takut, mungkin ada jawi ngamuk seperti dulu. Atau celeng. Dulu, celeng pernah menabrak dinding dapur warung semi permanen ini. Kakinya mulai gemetar. Sekarang pikirannya sampai ke sosok gaib—kuntilanak, pocong, atau jenis setan baru. Kain putih itu bergerak perlahan. Samar-samar, dari bias lampu dapur, terlihat tangan yang bergenggaman.

Leman duduk sejenak, menghimpun sisa keberanian. Jari-jarinya dikatupkan, pundaknya menelan leher seperti orang kedinginan. Ia kembali berdiri, mengintip lagi. Kain putih itu bergoyang tak beraturan. Terlihat dua sosok: pria berkumis yang menghadap cahaya—mirip Bujang—dan seorang wanita memunggunginya. Gerakan wanita itu seperti dikenalnya. Sedang apa mereka? Kalau benar itu Bujang dengan istriku...

Tubuh pria itu bersandar ke lemari usang yang pernah dibuang Leman ke belakang warung. Ia melangkah perlahan ke samping warung. Di teras, Leba duduk diam, tak menyapa. Leman membungkuk melewati jalan sempit, semak-semak mengurai ke badan jalan. Ia mengintip kain putih itu, lalu sosok pria berkumis. Samar. Wanita di hadapannya juga samar, tapi gerak tubuhnya seperti dikenali. Kalau itu benar istrinya...

Sampai di warung, istrinya tak tampak. Ia bertanya pada Leba.

"Ke warung ujung beli gula," jawab Leba.

Leman langsung berjalan ke warung ujung, meninggalkan Leba yang bingung. Tak lama, ia kembali. Wajahnya memerah, marah—entah kepada siapa.

"Kenapa kau?" tanya Leba.

Leman diam. Kata Leba, sepeninggalnya tadi, istrinya datang membawa gula pasir. Leman bergegas ke dapur, menemui istrinya.

"Dari mana saja kau, Tinah?!" bentaknya.

"Dari warung Lambiak, beli gula," jawab istrinya tenang.

Leman membentak lagi. Menanyakan berapa lama, dengan siapa, dan apa yang dilakukan di belakang warung. Ia duduk tersandar ke dinding dapur, mengusap wajah. Ia sangat yakin, pasangan yang bercumbu tadi adalah istrinya dan Bujang. Tapi ia tak punya bukti. Istrinya tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Dan mungkin memang tak terjadi apa-apa.

Istrinya berlalu, meninggalkannya. Sudah sering Leman menuduh yang aneh-aneh. Barangkali, menurut istrinya, suaminya cuma kesal karena diganggu saat menikmati pemandangan malam.

Leman masih duduk selonjor, punggung bersandar ke dinding. Bayangan janda tadi tak datang lagi ke matanya. Ia menepuk-nepuk pipinya, berharap yang ia lihat tadi bukanlah istrinya. Penyesalan muncul—kenapa tak memergoki langsung. Semoga saja, wanita bersama pria berkumis tadi hanyalah salah satu janda dari pasar malam Kamis itu.***

Rori Maidi Rusji, lahir di Muaro Paiti, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat (Sumbar). Menulis puisi, cerpen, naskah teater, dan skenario film. Tulisan-tulisannya telah terbit di berbagai media cetak dan online, baik lokal maupun nasional. Buku kumpulan puisi perdananya berjudul Nyanyian Pupang, diterbitkan oleh Purata Utama pada tahun 2021. Kini aktif berkegiatan di Serikat Budaya Marewai dan mengelola situs budaya dan sastra www.marewai.com. Dapat dijumpai di Instagram: @roriaroka, dan Facebook: Rori Aroka Roesdji. Saat ini berdomisili di Padang, Sumbar.

 

Editor: Anton WP

 

 

 

 




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.