Bayangan yang Menghantui Menteri Muda
(PEXELS.COM)
MENTERI muda itu baru saja menempati ruang kerjanya. Lampu gantung menggantung rendah, menebarkan cahaya temaram di atas meja kayu yang tampak tua. Debu sedikit menempel di sudut lemari. Ruangan terasa sunyi dan lengang. Ia menatap sekeliling, merasakan ruangannya seperti menyimpan rahasia yang belum sepenuhnya ia mengerti.
Di pojok ruangan, ada sebuah lemari tinggi dengan pintu kaca buram. Sesekali cahaya mentari memantul, menimbulkan garis tipis yang bergerak-gerak di lantai. Menteri itu berjalan mendekat, merasakan tekstur kayu lewat ujung-ujung jarinya. Sebuah rasa ingin tahu yang aneh mulai menyelimuti dadanya.
Didorong kepenasaran, ia membuka lemari itu perlahan. Di dalamnya, ada sebuah cermin usang dengan pinggiran retak halus. Permukaannya tampak kusam, seolah menolak cahaya. Menteri muda itu menyentuhnya, dan dingin kaca itu merambat buku jemarinya, menimbulkan rasa aneh di kulit.
Cermin itu terlihat biasa. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Ia mencoba menatap wajahnya. Bayangan di cermin terlihat berbeda. Tidak selaras dengan gerakan tubuhnya. Ia menunduk dan menoleh ke meja, mencoba memastikan semuanya normal. Namun, bayangan di cermin tetap menatap lurus, seakan sedang mengejek dirinya.
Saat ia menoleh ke arah pintu, bayangan di cermin sama sekali tidak bergerak. Matanya menatap lurus cermin. Ia ingin tahu rahasia di baliknya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tubuhnya membeku. Ia merasakan hawa sejuk merayap ke tulang belakangnya.
Ia kemudian melemparkan pandangan ke sejumlah dokumen di meja. Semua tampak biasa. Namun, ada perasaan aneh, seperti ada bayangan yang selalu memperhatikannya dari balik cermin. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Tapi, bayangan itu tetap ada, menunggu, menempel di matanya.
Lalu, ia berpaling kembali ke cermin. Dan kini bayangan yang muncul justru bukan lagi dirinya. Tampak seorang pria berjas, berlumuran noda gelap yang tak bisa ia kenali. Bibirnya tersenyum lebar, penuh keserakahan. Menteri muda itu mundur satu langkah. Jantungnya seakan berhenti sebentar.
Ia semakin mundur. Bayangan pria berjas itu tetap menatap. Wajahnya kini menakutkan, penuh dendam dan ambisi. Ia merasakan kaca itu melumpuhkan pikirannya, memaksa dia menatap kebenaran yang menakutkan. Rasanya seperti cermin itu bukan hanya memantulkan, tetapi juga membaca jiwanya.
Ia segera menutup lemari dan berharap semuanya hanyalah ilusi. Napasnya berat. Tangannya gemetaran saat menutup pintu lemari kaca itu. Toh meski pintu lemari sudah tertutup, paras pria berjas itu tetap membayang di benaknya. Ia mencoba menyibukkan diri dengan dokumen dan telepon. Tapi, tetap saja bayangan pria berjas tadi menghantuinya.
Keesokan harinya, ia menghadiri rapat kabinet. Rekan-rekannya tampak biasa, bercakap ringan. Namun, di matanya, setiap senyum orang-orang di sekelilingnya terasa seperti ancaman. Ia merasa ada sosok bayangan gelap yang mengintai setiap keputusan yang diambil. Hatinya gelisah, dan ia mulai mempertanyakan motif semua orang di ruangan itu.
Ia membayangkan wajah-wajah mereka di cermin lemari: tamak, haus darah, tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Ia tidak bisa lagi memisahkan bayangan di cermin yang pernah dilihatnya dari kenyataan. Setiap kata yang mereka ucapkan terdengar seperti bisikan pengkhianatan. Pikirannya mulai dipenuhi rasa curiga yang tak terkendali.
Saat ia sedang mengamati dokumen anggaran, tampak setiap angka yang ditulis seperti nyawa rakyat kecil yang tersedot. Ia merasakan beban moral menekan-nekan pundaknya. Matanya tertuju pada setiap tanda tangan yang harus ia bubuhkan, dan hati kecilnya menjerit menolak. Pikirannya terus kembali ke cermin usang di lemari itu. Ia merasa ada rahasia yang selama ini disembunyikan di balik setiap senyum orang-orang.
Malam-malam menteri muda itu lantas dipenuhi mimpi gelap tentang kekuasaan yang kotor. Mimpi-mimpi itu seolah menuntunnya melihat sisi gelap dari setiap tindakan politisi.
Suatu petang, ia kembali ke ruang kerjanya. Lampu lembut menyorot lemari lawas itu, membuat butiran debu berkilau samar. Ia menahan nafas saat membuka pintu lemari dan mengetahui ia akan bertemu kembali dengan sesuatu yang mengubah persepsinya.
Kala akhirnya cermin itu menatapnya, sosok-sosok bermunculan lebih jelas, lebih mengerikan dari sebelumnya. Ada menteri senior yang selama ini tampak ramah, kini menatapnya dengan mata beku dan bibir tersenyum penuh dendam. Ia terhuyung mundur, merasa kehilangan pijakan di ruangannya sendiri.
Ada lagi menteri yang selama ini dianggapnya bijak. Di cermin itu, wajahnya penuh noda gelap, bibirnya tersenyum licik. Setiap garis di mukanya tampak mengekspresikan keserakahan dan kekerasan yang tersembunyi. Menteri muda itu menelan ludah, menyadari banyak yang tidak pernah ia ketahui rupanya.
Ia mencoba memejamkan mata. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ia merasakan rasa takut yang tak seperti biasanya, tetapi juga ada penasaran yang terus mengikatnya. Ia mulai menyadari, cermin itu bukan sekadar refleksi, tapi penghakiman diam terhadap mereka yang sedang berkuasa.
Lewat cermin itu, ia merasa sedang melihat inti kekuasaan serta kerakusan dan darah yang tersisa dari ambisi. Bayangan-bayangan yang dilihatnya di cermin menekannya untuk memahami sisi gelap perjalanan kabinetnya.
Seminggu berlalu. Ia mencoba menyingkirkan cermin di lemari dengan memindahkannya ke gudang. Pintu lemari ia tutup rapat-rapat. Akan tetapi, setiap kali ia masuk ke ruangan kerjanya, cermin itu selalu kembali. Seolah benda itu memiliki kehendak sendiri serta menuntutnya untuk terus menatapnya.
Maka, ia kemudian memilih menghindari lemari dan berupaya sekuat mungkin menyingkirkan bayangan-bayangan yang selalu menghantui pikirannya. Namun, mimpi-mimpinya setiap malam justru semakin dipenuhi wajah-wajah mengerikan yang menatap tajam, dan membuatnya kerap terbangun dengan keringat dingin.
Hari demi hari, perilakunya mulai menarik perhatian rekan-rekannya. Ia sering menatap kosong, menulis laporan lambat, dan bicaranya tampak terganggu. Beberapa kolega pun bertanya apakah ia sakit atau lelah, tapi ia hanya tersenyum kaku, berusaha menyembunyikan ketakutannya yang semakin menumpuk.
Setiap waktu rapat tiba, rasa gelisah selalu menumpuk di dadanya. Apa lagi saat harus bersinggungan dengan pembahasan anggaran. Tekanan moral semakin nyata baginya. Ia sempat menolak menandatangani dokumen tertentu, di tengah-tengah senyum tamak rekan-rekannya yang terasa seperti peringatan keras. Ia cuma menatap angka-angka di lembar anggaran dan merasakan dilema hidup dan mati yang menanti setiap keputusannya.
Suatu malam, ia mendengar suara lembut dari lemari. “Kenapa kau takut, Anak Muda?” Suara itu mengalir, menembus keheningan ruangan.
Ia terpaku, tak berani bergerak. Namun, akhirnya memutuskan untuk membuka kembali pintu lemari. Cermin memantulkan siluet orang-orang yang menari-nari. Siluet itu berbicara. Suaranya menusuk telinga, menceritakan keputusan-keputusan gelap yang disembunyikan dari jangkauan khalayak.
Mereka menyingkap rahasia lama kabinet: pengkhianatan, korupsi, dan nyawa yang terabaikan. Menteri muda itu terpana, menyadari betapa banyak yang selama ini ia tidak ketahui. Ia menatap siluet orang-orang itu, berusaha menahan perasaan jijik dan takut.
Ia pun menutup pintu lemari dengan keras. Tetapi, suara-suara dari cermin di dalam lemari itu tetap mengikuti. Ia merasakan tekanan moral yang tak tertahankan.
Ia sadar akhirnya bahwa cermin di dalam lemari itu bukan sekadar kaca usang. Ia adalah pengawas, pengingat, dan kutukan bagi mereka yang berkuasa seperti dirinya. Setiap refleksi adalah penghakiman diam, menyatakan siapa yang bersih dan siapa yang berlumuran noda.
Esoknya, ia menulis surat pengunduran diri. Di dalam suratnya, ia menulis satu kalimat: “Saya tidak bisa lagi melihat apa yang harus saya lihat.”
Ia menandatangani surat itu dengan tangan sedikit gemetar.
Rekan-rekannya terkejut. Mereka tidak mengira menteri muda itu akan menyerahkan jabatannya begitu saja.
Tatkala menteri muda itu meninggalkan ruang kerjanya, lemari itu masih tetap berada di tempat semula. Cermin tua menatapnya. Sosok wajah dengan senyum lebar sekelebat terlihat di cermin. Tak lama, ruang itu kembali sunyi, seraya menunggu penghuni berikutnya.
Menteri muda itu merasa tubuhnya kini lebih ringan, tetapi pikirannya masih dipenuhi suara-suara yang bukan miliknya. Ia menyadari satu hal bahwa cermin tidak pernah menipu, melainkan hanya menunjukkan yang hal sebenarnya. Dan yang sebenarnya itu lekat menempel pada dirinya.***
Djoko ST adalah penulis lepas. Selain aktif menulis, ia juga aktif bersepeda dan berkebun.
Editor: Anton WP
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















