CERPEN RIKI UTOMI

Laki-Laki yang Terpenjara

Budaya Minggu, 14 September 2025 - 16:45 WIB | 442 klik
Laki-Laki yang Terpenjara

(GETTY IMAGE)

JUJUR,  saya merasa kasihan melihatnya. Sejak tadi matanya memerah, sayu, dan wajahnya tambah kusut. Mulutnya tidak berhenti menguap, kadang keras. Sudah jarang dia berbual-bual dengan saya di dalam mobil. Biasanya setelah seperti itu, dia langsung rebah dan tidak sadarkan diri. Mendengkur keras. Terasa betul keletihan yang begitu sarat, tidak dapat dibayangkan. Saya lirik dari kaca spion atas, wajahnya tampak damai ketika tidur setelah disergap beban rutinitas pekerjaan yang tiada tara.

Bayangkan setiap hari dia harus mengurus segalanya—kepentingan umum itu—ke segala penjuru kota. Bahkan sesekali ke desa-desa kecamatan atau pula suatu ketika sampai merambah ke pelosok kampung. Saya senantiasa mengikutinya karena tidak ada supir yang mau dimintanya kecuali saya. Entahlah, saya juga tidak tahu mengapa dia hanya memilih saya meskipun ketika ke suatu daerah saya tidak tahu persis kondisi medannya seperti apa, dia ngotot ingin saya yang menyupir. Apa boleh buat, meski dalam hati ada juga saya menggerutu, namun saya tetap menunjukkan sikap bersahabat.

Tetapi yang saya dapatkan tetap saja melihatnya dengan tatapan teduh, lebih tepat sayu. Matanya terus seperti orang kantuk. Saya yakin dia memang kurang tidur. Itu yang membuat badannya rapuh dan tidak berenergi. Tidak seperti umumnya pemuda seusianya yang berbadan tegap dan ketika berjalan dengan dada membusung. Tidak. Dia sepertinya—lebih jauh untuk saat ini—memang tidak lagi menampakkan hal itu.

Walaupun begitu dia masih bersikap apa adanya, mirip sekali dengan ayahnya. Saya juga tidak akan memulai sebelum dia sendiri yang memulai pembicaraan, dalam hal apapun. Sebab, itu tadi, saya merasa kasihan dengan kondisinya yang begitu rapuh. Lihatlah kini lingkaran matanya tampak betul menghitam, sayu, dan di bawahnya membentuk lingkaran setengah bundar menjadi kantung mata yang juga … ah, seharusnya dia belum jauh untuk menjadi tampak tua. Belum masuk ke umur segitu. Tapi mau bagaimana lagi. Di hadapan saya toh, dia tetap tersenyum, meski harus dipaksakannya sebisa mungkin, untuk cepat-cepat mencairkan suasananya sendiri, lebih tepatnya begitu. Senyum yang khas miliknya.

“Bagaimana, Pak Bondo? Saya sudah ganteng, kan?”

Spontan kedua tangan saya mengacungkan jempol sambil tertawa lebar. Saya benar-benar meyakinkannya dengan apapun bentuk pakaian dan gaya. Kali ini dia memakai batik lengan panjang berpadu celana panjang hitam katun. Rambut tersisir begitu rapi ditambah semprotan minyak wangi yang aromanya meresap ke hidung saya, juga terasa semerbak ke seluruh ruangan kamar. Dia pandang lagi cermin untuk sekian kali. Mengepas-ngepaskan batik itu. Dia tersenyum lagi ke cermin.  

“Hari ini saya tetap mau Bapak yang menyupir ya.”

“Beres!”

Sesaat dia memandang saya dengan tatapan asing. Membuat saya agak tercekat.

“Hm ….”

Tiba-tiba juga saya menjadi ciut!

“Ini sungguh berat …” ucapnya lirih sambil menunduk.

“Banyak beristighfar. Yakin saja dengan usaha kita,” lanjut saya sekadar menasihati.

Dia mengangguk pelan masih dengan wajah tertunduk. Lalu menarik napas dalam-dalam ketika mendongak. Matanya pejam. Saya membayangkan pasti dia sedang menghadapi kembali segala beban kerja yang tidak terkira dan sarat akan segala sesuatu yang berujung resiko. Seperti memikul sebongkah batu besar. Saya segera keluar rumah menuju mobil. Harus sampai ke bandara sebelum pesawat yang membawa rombongan tamu penting dari Uganda itu tiba. Kabarnya mereka perwakilan pemerintahan.

Bukan hanya sepuluh kali dia menghadapi orang penting pemerintahan. Tidak dapat dihitung lagi. Sebab, mau bagaimana lagi. Memang itulah yang sudah menjadi takdirnya sebagai pejabat tinggi di negeri ini. Walau hal itu sebenarnya membuatnya “tidak nyaman”—seperti yang diakuinya pada saya—karena dia tidak dapat berbuat banyak untuk bercakap-cakap kepada mereka. Hanya lebih sering mengulang kata atau kalimat yang sama, atau pula menunjukkan wajah senyum terkulum, atau juga buru-buru menyudahi pembicaraan sambil terlebih dahulu menyerahkan tangan untuk salaman. Lagi pula dengan jam terbangnya yang mendadak begitu tinggi saat ini membuatnya lebih sering shock. Apalagi sebagian besar yang menjumpainya adalah orang-orang pejabat berusia tua, dengan segala pandangan dan pola pikir yang jauh berbeda.

Belum lagi faktor bahasa yang jelas berbeda. Jalan tengah lebih banyak menggunakan bahasa Inggris oleh kedua belah pihak. Apabila menghadapi orang penting dari negara lain. Dia selalu disediakan penerjemah yang siap sedia berada duduk di samping. Sayang… dia—seperti selalu dikatakannya kepada saya—sering kurang menangkap maksud pertanyaan-pertanyaan orang itu walaupun telah diterjemahkan oleh penerjemah. Sebab dia mengakui memang kurang menguasai kosa kata bahasa asing. Sehingga membuatnya lebih banyak memasang wajah senyum saja daripada menjawab atau hanya terdiam lama sambil pura-pura berpikir. Padahal dia tinggal mengatakan saja dengan menggunakan bahasa Indonesia, sebab nanti akan diterjemahkan lagi oleh penerjemah di sebelahnya.

***

SAYA selalu berusaha ingat dan gercep! Kata anak muda sekarang. Gerak cepat,  begitu artinya, untuk selalu membawa kertas print out pidato-pidatonya. Dia memang tidak terlalu peduli untuk ingat hal itu, namun bagi saya hal itu adalah tanggung jawab besar. Sebab apa jadinya ketika setelah di lokasi kertas pidatonya terlupa? Tercecer? Atau Rusak? Bahkan hilang? Tidak dapat dibayangkan betapa murkanya dia! Atau kalau tidak pun, saya merasa terpukul dan menyesal tentunya.

Untuk itulah isi-isi pidato yang telah selesai diketik oleh timnya segera diserahkan kepada saya untuk saya print out-kan. Sebab nanti langsung dapat saya masukkan ke dalam map untuk disimpan rapi. Map itu pun telah saya sediakan dan ditandai secara khusus sebagai bentuk kesigapan saya agar tidak lupa atau teledor. Lalu pasti akan saya letakkan terlebih dulu ke dalam mobil dinas itu. Dari rutinitas itu, saya yakin tidak akan tertinggal atau terlupa. Sebab hal ini bagi saya resikonya sangat besar walaupun hanya sebentuk tanggung jawab membawa teks pidato.

Saya memang bukan bagian protokoler pemerintahan. Hanya supir biasa yang—entah mengapa kebetulan saja—disenangi dia. Padahal rasanya saya lebih sering minder pada orang-orang itu. Sebab mereka memang telah ditunjuk sebagai petugas supirnya. Lha, saya yang tidak ada apa-apanya ini, malah nimbrung[1] ke lingkaran mereka. Namun, saya berusaha tetap tampil sebagaimana mestinya; sederhana dan rapi, juga disiplin dan punya dedikasi serta daya integritas! Ah, kira-kira begitulah seperti meniru kata mereka. Maklum saya cadel menyebut istilah-istilah elit itu sebab saya bukanlah orang sekolahan betul.

Tapi itu tadi, dia ingin saya menjadi “pengawal”nya, maksudnya menjadi supirnya kemanapun dia berkunjung. Tentu saja saya berusaha untuk tetap menunjukkan sikap bersahabat kepada orang-orangnya, maksud saya orang-orang protokoler itu. Alhamduillah hal itu, katakanlah, tidak menjadi kecemburuan sosial pada mereka. Sebab, barangkali pembawaan saya yang supel dan lete[2] seperti kata orang Melayu, kampung tempat istri saya. Suka mengajak mereka berleseng[3] dimanapun saya berada. Tidak peduli setinggi apapun pangkat orang-orang protokoler itu. Bahkan saya sering free rokok! Sebab mereka ada saja menawarkan rokok pada saya. Selain itu tentu saja, kopi!

Dia menggeliat di dalam mobil. Menarik napas panjang dan menyemprotkan sesuatu dari sebotol kecil ke mulutnya. Lalu menghembuskannya kembali ke telapak tangan. Merapikan baju batiknya dan menyisir kembali rambutnya. Sekilas di liriknya ke kaca spion atas dalam mobil.

“Doakan saya, Pak Bondo!”

“Selalu Mas!”

Namun saya masih juga tetap melihat wajahnya yang sarat letih. Aduh, sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu padanya, namun saya khawatir dia tersinggung. Lihatlah, keningnya kini tampak muncul beberapa lipatan, juga muncul garis vertikal begitu sarat terlihat membelah kedua pipinya dari bawah hidung. Lalu, ah, matanya kian cekung ditambah pada bagian bawahnya yang tampak gembung.

Saya menarik napas. Mobil sudah berhenti. Para tamu tampak berbaris rapi bersiap menyambutnya. Seorang ajudan berserangam khas lengkap tampak sigap membuka pintu mobil. Saya lihat sekali lagi dari kaca spion atas dalam mobil, dia masih diam dengan wajah dingin.

***

SUATU ketika dia menunjukkan sepapan pil berwarna putih kepada saya. Untuk jaga-jaga, katanya. Saya terkata itu obat sakit kepala yang seperti diakuinya memang cocok. Di lain waktu pernah dia tunjukkan pula dua kotak larutan pengusir angin saset, stok untuk ke luar kota, begitu akuinya. Lalu belum lama ini dengan bangga ditunjukkan pula pada saya sebuah kotak, agak besar. Kali ini dia menyuruh saya menebak. Hal itu membuat saya tertawa lepas. Saya jadi teringat dengan cucu saya di kampung, seorang remaja. Sama persis seperti dia, tapi agak di bawah sedikit umurnya.

Lalu saya menebak sembarangan saja. Alhasil tidak ada satu pun tebakan saya yang tepat. Hal itu tampak membuatnya geli, seolah sebuah kemenangan. Tapi diam-diam saya suka dengan keriangannya tersebut. Mau juga dia tertawa lepas begitu setelah setiap hari bertungkus-lumus pada rutinitas seorang pejabat tinggi negara yang tidak ada habis-habisnya. Padahal kemarin wajahnya selalu merengut dan tidak jarang meminta kerok oleh Mbah Inem. Tak jarang begitu sering dia masuk angin membuatnya mual dan berujung muntah.

Tawanya reda. Wajahnya tersenyum simpul. Dia mulai membuka kotak itu perlahan. Saya pura-pura berdebar dengan wajah sungguh-sungguh menunggu sebuah kejutan. Lalu dengan gaya remaja tanggung pada umumnya, dia berlonjak sambil menunjukkan kepada saya. Sebuah pesawat mainan dengan corak dan bentuk canggih! Terkesan sangat elit. Tak lupa dia tunjukkan pula sebuah alat kontrolnya. Dia akui mainan itu dibeli sewaktu kunjungan kenegaraan di Jepang bersama rombongan setahun lalu. Dipeluknya mainan itu, seperti sedang memeluk anak.

“Ini menambah koleksi saya!” ucapnya bangga.

Saya mengangkat bahu. Ada dua lemari kaca besar koleksi mainannya itu di pojok samping kamarnya. Begitu menggoda dengan segala bentuk, jenis, merk, dan dengan segala harga yang—tentu tidak ada yang murah—hanya orang tertentu seperti dia yang mampu membelinya. Saya berdecak dan menggeleng.

“Mainan ini sesekali saya mainkan,” katanya menimpali.

Saya semakin menggeleng.

“Kok menggeleng saja, Pak Bondo!”

Saya terkesiap, “Oh ya, tentu saya kagum Mas. Bukankah begitu tho?”

Dia tersenyum terkulum. Memandang kembali koleksi mainannya dengan penuh kepuasan. Saya juga menjadi tersenyum simpul. Ah, mengapa dada saya berdebar? Ada debar lain ketika melihatnya seperti itu. Saya tidak tahu mengapa atau karena saya merasa aneh melihatnya. Saya juga tidak tahu mengapa harus aneh. Meskipun tidak ada yang harus dianehkan. Atau sayakah yang telah menjadi aneh karena terus saja melihat keanehan itu? atau juga, keanehan itu semakin merambat merasuk ke dalam benak saya hingga segalanya tambah tumbuh menjadi absurd? Soalnya selalu terjadi di depan saya. Entahlah.

Tiba-tiba saya teringat, bukankah sehari lagi dia akan berkunjung ke Suriname? Saya pandangi meja kerjanya. Tidak terlihat naskah-naskah pidato yang baru. Biasanya sehari sebelum keberangkatan, kepentingan itu sudah terletak rapi di meja. Saya juga tidak melihat flashdisk yang biasa untuk dipakai memindahkan file pidatonya yang nanti segera akan saya print-out itu. Entah mengapa saya berdebar di sela geli sendiri sebab pandai juga saya mengoperasikan komputer dan mesin print itu.

Saya pandangi lagi dia yang kini malah sibuk mengambil koleksi mainannya dari dalam lemari kaca itu. Sesekali tampak menimang-nimang mainan yang baru diambilnya. Saya ingin bertanya, tapi ah, tiba-tiba suara saya tercekat. Entah mengapa. Atau karena saya tidak tega untuk menghentikan rasa gembiranya itu? Walau hanya beberapa menit. Lihatlah, begitu tampak senangnya dia melihat-lihat dan menimang-nimang mainnya itu. Sejenak seperti terlupa akan letihnya yang begitu berat sebagai sosok pejabat di negeri ini.

Dia bawa beberapa maninan itu dari lemari dan meletakkannya di meja kerjanya. Ada mainan robot superhero, mobil Jeep yang di baknya terdapat bazooka, pesawat UFO yang lingkarannya menyala lampu kerlap-kerlip warna-warni, dan sebuah pedang besi—tampak begitu mirip—samurai! Tidak ketinggalan aneka cenderamata dengan beragam bentuk ciri khas tiap negara yang pernah dikunjungi. Dia memberi isyarat kepada saya untuk melihat semua. Saya berdecak. Semua tampak mahal dan elit, pasti harganya selangit.

“Saya ingin memainkannya sesekali,” katanya lirih. Dipandangnya semua mainan itu dengan sungguh-sungguh.

“Bagus Mas. Sayang sudah dibeli tidak dimainkan. Khawatir rusak, bukan?”

Namun dia tiba-tiba menarik napas berat dengan wajah berkerut. Terduduk sambil menyilangkan kedua tangan di meja. Kepalanya tertunduk.

“Itu yang saya tidak tahu ….”

Tidak tahu? Ucap saya dalam hati.

“Saya seharusnya bersama mereka. Nongkrong di kafe atau sesekali berpetualang ke gunung. Alangkah menyenangkan hidup mereka, Pak Bondo!” lanjutnya dengan suara datar dan tercekat.

Saya terkejut, tidak mampu berkata-kata. Dia tampak dingin dan nanar memandang seluruh mainannya itu. Pandangannya kosong. Ah, saya pandangi lagi wajahnya yang berkerut itu, membuat dirinya tampak melesat menuju ke umur yang belum semestinya. Sebab tidak lagi saya lihat aura kemudaan kalau dia sudah jatuh begini.

Pernah suatu ketika dia menelpon rekan-rekannya untuk—saya tahulah perasaan anak muda seusianya—nongkrong barsama di kafe. Tapi hampir dipastikan rutinitasnya tidak dapat dihindarkan sekarang. Sebab kunjungan ke daerah-daerah maupun sesekali ke luar negeri harus dilaksanakannya. Rekan-rekannya tentu saja menganggap kalau ajakannya sebagai sebuah nostalgia semu yang jauh entah kapan dapat diwujudkan.

Saya menarik napas. Entah mengapa dada saya juga terasa sesak melihatnya. Memang sepantasnya dia masih menikmati waktu berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Tidak sibuk mengurus tetek-bengek urusan besar itu. Dia pernah berkata sangat pusing namun tetap mencoba menguatkan diri dengan menunjukkan sikap professional sebagai seorang pejabat dan berusaha sekuat-kuatnya untuk tampak cerdas jumawa. Padahal jantungnya berdebar kencang ketika diserbu oleh wartawan dan diberondong sejumlah pertanyaan atau ketika setiap kali berada di podium membuat tubuhnya menggigil. Saya mengerti bahwa dia tidak terampil berpidato meskipun naskah-naskah pidato itu telah dirancang dan dipersiapkan dengan sangat bagus. Selalu saja ada kesalahan berulang yang akhirnya menjadi teror mental dahsyat baginya.

Jujur saya kasihan melihatnya.

“Apakah naskahnya sudah siap, Pak Bondo?” tanyanya lirih yang kini telah  menenggelamkan kepalanya di tangan yang bersilang di atas meja.

“Ee… mungkin masih dipersiapakan oleh tim, Mas. Atau malam ini file-nya muncul ke WhatsApp saya. Akan segera saya persiapkan!” kata saya gelagapan namun mencoba menjawab mantap sebisanya.

Dia tampak mengangguk di sela kepala yang terpuruk.***

Selatpanjang, 2025

 

 

Riki Utomi kelahiran Pekanbaru 19 Mei 1984. Menamatkan studi di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Riau. Buku cerpennya yang telah terbit Mata Empat (SeniKata, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (Seligi Press, 2015), Mata Kaca (Uwais, 2017), Anak-Anak yang Berjalan Miring (Rua Aksara, 2020). Kini bermukim dan bekerja sebagai tenaga pendidik pada sebuah sekolah negeri di Selatpanjang, Kepulauan Riau.

 

 

[1] Datang dan turut serta (makan, minum, bercakap-cakap, dan sebagainya).

[2] KBBI: leter. Cakap (tutur kata) yang keluar terus-menerus dengan tidak tentu maksud tujuannya.

[3] Berbual-bual, bercerita. (kosa kata Melayu)

 

Editor: Anton WP




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.