Kupinjam Wajahmu untuk Kubawa ke Dalam Mimpi
(EN.PINKOI.COM)
BARANGKALI, tidak ada yang mampu menjelaskan bagaimana cinta itu terasa begitu rumit.
Aku kembali berkunjung ke rumah Kakek J, membawa sepiring kue kering dan termos kecil berisi teh melati hangat. Aku dan Kakek J memiliki kebiasaan kecil di setiap hari Kamis sore: duduk berdua di meja kayu di dekat jendela berukiran, menatap pohon mangga yang mulai meranggas, dan mengobrol tentang hal-hal yang tak selalu bisa disimpulkan.
Rumah Kakek J tidak terlalu besar, dengan aroma kayu tua yang menenangkan. Ada rak-rak buku di ruang tamu berisi kumpulan puisi, novel, biografi, filsafat, dan catatan harian bersampul coklat. Di halaman depan rumahnya, tergantung lonceng kecil yang selalu berbunyi ditiup angin. Ruang tamu rumah Kakek J sederhana, dengan lukisan dan foto keluarga yang dipajang rapi.
Aku pertama kali datang ke rumah Kakek J setahun yang lalu, saat diminta mengantar kiriman dari ayah. Tapi sejak sore itu, entah mengapa aku selalu ingin kembali. Seolah ada sesuatu di antara diam dan ceritanya yang mampu mengisi kekosongan dalam kepalaku yang riuh. Kakek J tidak pernah memaksaku berbicara, bagiku itu sudah lebih cukup.
Begitu aku menjatuhkan bokongku dan menuangkan teh ke cangkirnya, Kakek J membuka percakapan seperti biasa:
“Kata ‘cinta’ itu sendiri telah menyesatkan. Bisa jadi lebih tepat dikatakan kalau cinta itu berkelanjutan maka tidak ada lagi cinta. Rasa ingin yang dihadapi sepasang manusia selama kurun waktu untuk rindu yang berpuisi dan awal yang selalu hilang-timbul dan digantikan dengan perasaan yang sangat berbeda. Akibatnya akan sama seandainya semua itu sepakat untuk terus hidup dalam perdamaian yang selalu abadi, alih-alih saling melupakan. Masing-masing tidak melanggar garis-garis perbatasannya. Dengan demikian, masing-masing ‘itu’ masih akan tetap menjadi sebuah dunia yang tertutup dan tersendiri, serta selamanya terbebas. Sebuah atau segala macam perasaan yang bersifat tetap, akan sama saja dengan cinta yang berlangsung lama; tidak mengakar, tapi membatu.”
Kakek J mengakhiri ucapannya dengan menyeringai tipis. Jemarinya yang kurus dan langsing menggamit telinga cangkir, lalu menyesap isinya perlahan. Kakek J berdeham ringan setelah meletakkan kembali cangkir itu. Tangannya menyilang di atas meja, lalu menatapku lurus. Manik mata biru terangnya menembus batas, atau mencabik-cabik pupilku yang hitam pekat. Aku merasa, tatapan Kakek J hanya dimiliki seseorang yang telah mengubur banyak perasaan dalam waktu tidak singkat—tanpa benar-benar selesai.
Kakek J selalu mengawali obrolan kami dengan kalimat itu, dan entah mengapa aku tidak pernah bosan. Seperti lagu Please Forgive Me dari Bryan Adams yang kerap kuulang-ulang di kamar: ada sesuatu yang lirih dan setia di dalamnya. Seperti rumah yang tak pernah bertanya kenapa kita pulang dalam keadaan hancur.
Kakek J adalah duda tua yang ditinggal mati oleh istrinya dua puluh tahun lalu. Aku pernah melihat istrinya, Nenek K, dalam foto-foto yang berjejer rapi di atas bufet yang mengarah ke dapur. Nenek K, kata Kakek J, adalah perempuan periang yang menyukai warna putih dan merah muda. Aku setuju. Dalam hampir semua foto itu, Nenek K mengenakan gaun berwarna putih dan merah muda, terkadang keduanya, dan topi lebar yang menjuntai seperti kelopak bunga. Di dalam semua foto itu, Nenek K selalu tersenyum, seolah tak pernah tahu bahwa suatu hari dirinya akan ditelan tanah dan di dunia hanya tersisa kenangan.
Di dinding yang menghadap jendela, tergantung lukisan seorang perempuan yang aku yakini itu Nenek K yang dilukis oleh tangan Kakek J sendiri. Sapuan cat putih dan merah muda menyatu lembut seperti kabut yang tak jadi turun. Aku menyukai bagian rambutnya yang tak panjang, bergelombang seperti ombak. Di lehernya, Kakek J melukis sekumpulan bunga kecil yang seakan tumbuh dari dalam dada. Lukisan itu Kakek J beri nama: Kupinjam Wajahmu Agar Kubawa ke dalam Mimpi.
“Aku tak pernah mencintai siapa pun seperti aku mencintai dia,” ucap Kakek J. “Dan, mungkin itu justru kesalahan terbesarku.”
“Kesalahan?” tanyaku
“Karena aku mencintainya seperti aku ingin memilikinya selamanya. Padahal, aku tahu bahwa cinta yang ingin memiliki hanya akan berubah menjadi ketakutan. Ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan ubah perasaan, ketakutan berkurangnya perhatian. Dan semua ketakutan-ketakutan yang tak bisa kusebut lainnya akan menambal lubang-lubang cinta dengan obsesi.”
Kakek J menoleh sebentar ke arah bufet, lalu melanjutkan dengan pelan.
“Sampai aku menyadari bahwa cinta itu bukan peristiwa yang utuh. Cinta seharusnya tidak menuntut untuk utuh; hanya perlu ada, hadir, menyala, lalu membiarkan menyentuh tanpa mengikat.”
Aku menyimak kata-kata itu dalam hati. Aku pikir aku sedang berada di titik yang sama. Karena aku juga jatuh cinta pada seseorang yang tak bisa kumiliki, seperti Nenek K, dengan hal-hal yang sederhana dan penuh warna, sementara aku dalam bayang-bayang dan abu-abu.
“Bagaimana denganmu, P? Apakah kau ingin bertanya sesuatu?” tanya Kakek J tiba-tiba, seperti bisa membaca isi kepalaku.
Aku membuka mulut sedikit, lalu kututup kembali. Semua kata-kata yang berebut keluar berubah menjadi helaan napas panjang.
Kakek J tersenyum. “Kalau begitu, lain kali saja. Kita tak butuh jawaban; hanya butuh duduk dan mendengarkan bagaimana cinta itu bisa bekerja pada orang lain. Supaya kita tahu, kita tidak sendiri dalam kebingungan itu.”
Senja makin pekat. Teh di cangkir kami telah dingin, tapi obrolan itu masih hangat dalam ruang. Aku bangkit dari kursi dan pamit pulang. Saat aku melewati bufet, aku sempat menoleh ke foto dan lukisan Nenek K sekali lagi. Aku berpikir, mungkin begitulah cinta dengan keabadian, tapi dengan pengakuan akan batas. Seperti kata Kakek J—tidak saling melanggar garis-garis perbatasannya.
Dan mungkin, itulah bentuk cinta paling jujur: saat kau bisa berkata, “Aku mencintaimu,” lalu membiarkan orang itu tetap menjadi dunia yang tertutup dan asing—tanpa benar-benar kehilangan dari dalam diri.***
Padang Pariaman, 2025
Palito lahir di Kabupaten Padang Pariaman, 18 Oktober 2001. Lulusan S-1 Bimbingan dan Konseling (BK) di Universitas PGRI Sumatra Barat (UPGRISBA), 2023. Aktif menulis dan terus mengeksplorasi gaya yang membawa pembaca ke ruang-ruang refleksi sosial dan eksistensial. Karya-karyanya tersebar di berbagai media daring seperti Kurungbuka.com, Nyangkem.id, Omong-omong.com, Ngewiyak.com, OmpiOmpi.com, Jernih.co, Janang.id, GolAGong Kreatif.com, Balipolitika.com, dan KBANews.com. Ia bisa dihubungi di Instagram: @paa_litoo.
Editor: Anton WP
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















