Kembar
(CGI.COM)
AWAL bertemu Ratih, aku teringat kembali kata-kata alamarhum ayahku. Ia pernah bilang, ada orang yang serupa dengan kita. Jika sudah bertemu, pertanda sebentar lagi kita akan mati. Masalahnya, aku yang memilih merantau jauh, setelah terjadi keributan di kampungku gara-gara tanah ulayat, menemukan sosok perempuan yang wajahnya mirip sekali denganku, sama-sama berpipi cekung, alis tebal, mulut kecil, bibir tipis. Orang-orang mengatakan kami suadara kembar. Banyak yang mengira ia adik perempuanku. Apakah sebentar lagi ajal menjemputku?
Ratih pernah cerita padaku tentang kehidupannya yang getir. Ia lahir di luar nikah, alias anak haram. Ayahnya keturunan Belanda. Setelah Angelice, ibunya Ratih meninggal. Munandar, ayah Ratih, berangkat ke Belanda setelah menitip ia yang masih kecil pada neneknya. Janjinya Munandar akan mengirim uang belanja dari sana, dan suatu saat nanti akan pulang. Sampai bertahun-tahun, tak tahu jejaknya entah di mana. Mungkin ia sengaja melakukan itu.
“Dasar lelaki kafir yang tak bertanggung jawab,” ucap neneknya kesal yang terlalu berharap pada lelaki itu untuk mengirim uang belanja membesarkan Ratih.
Di usia Ratih yang ke 17 tahun, neneknya meninggal. Kehidupannya semakin terkatung-katung. Hampir saja ia jadi pelacur. Ketika pikirannya buntu dihantui kegelisahan, saat itu aku bertemu dengannya. Kami pun berkenalan, dan akhirnya akrab. Ke mana-mana kami selalu berdua, dan sering sama-sama tertawa renyai. Aku sok melindunginya, jadi lelaki patriot untuknya, dan aku sering menceramahinya seolah aku lelaki baik-baik. Nasihat-nasihatku masuk dalam hati perempuan itu. Aku ajak ia bekerja daripada jual diri.
Kami bekerja di tempat yang sama, sebuah toko roti di Jalan Paus, sekitar dua km dari mal SKA. Kami mengontrak sebuah rumah yang kurang memadai untuk ditinggali dengan harga murah supaya uang gaji kami bisa ditabung. Rumah itu memiliki dua kamar, satu untukku dan satu untuknya. Walaupun kami satu rumah, percayalah aku tak pernah menyentuhnya. Kami tak pernah tidur satu selimut. Dia pun tak pernah memanas-manasi aku. Mengenai celana dalam dan kutangnya yang bergelantungan di kamar mandi, menururtku itu hal yang biasa bagi perempuan. Apalagi setelah ia menganggapku saudaranya sendiri. Entahlah suatu hari nanti pikiran kami berubah, waktulah yang menjawabnya.
***
Setahun lebih kami sudah kerja di toko roti itu, suatu hari, sepulang dari kerja, dan baru sampai rumah, aku bilang pada Ratih, “Apa kamu tidak capek kerja di tempat orang terus?”
“Namanya juga kerja, Bang. Mana ada kerja yang tidak capek.”
“Maksudku, bagaimana kalau kita buat usaha sendiri. Tabungan kita kan sudah ada buat modal.”
“Berapalah uang tabungan kita Bang, mana cukup untuk modal usaha.”
Aku memandang wajahnya yang cantik dan berkeringat, ia menghapus keringat itu sambil menundukkan wajah. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa memperlakukan ia sebagai adikku. Mungkin suatu saat nanti bisa berubah, berujung ia jadi kekasihku.
Ia membuka sepatunya, meletaknya di tempat biasa. Kemudian ia duduk bersandar ke tembok meluruskan kaki, menghidupkan sebatang rokok. Ia menghisapnya dalam-dalam seperti pecandu berat, kemudian menghidupkan musik dari handphone, tubuhnya menari-nari. Aku yang masih berdiri melangkah ke dalam kamar, mengambil 4 kotak tabungan. Aku yang terlihat buru-buru dan penasaran memecahkannya sendiri. Uang kertas dan uang logam berserakan di atas lantai. Kami berdua sama-sama menghitungnya. Delapan juta lebih.
“Kita harus buka usaha,” ucapku penuh percaya diri.
“Usaha apa Bang? Dengan uang segini, mana cukup.” Ratih menghisab lagi rokoknya, menghembuskan asabnya sambil bersiul-siul, kepalanya berputar-putar.
* * *
Setelah berhenti dari tempat kerja, kami buka usaha kecil-kecilan, jualan sate aceh di kafe Serambi, numpang sama kawan pemilik kafe. Satu porsi sate kami jual 17.00 rupiah. Lima belas ribu masuk kantong kami, tiga ribu rupiah bagian pemilik kafe. Setahun lebih kami jualan di Serambi, dagangan kami laris manis. Akhirnya kami memilih pindah tempat setelah terkumpul modal, kami kontrak tempat, buka warung sendiri biar lebih mandiri.
Selain jualan sate aceh yang ditaburi kuah kacang, sebagai tambahan kami jualan berupa minum-minuman, dan lain-lain. Di tempat baru, kami punya dua orang karyawan. Aku dan Ratih sama-sama bekerja keras, tapi keburuntungan tidak berpihak lagi pada kami sepeti sebelumnya. Nasib warung kami benar-benar pilu karena sepi. Setelah delapan bulan berjalan, kami tidak mendapatkan keuntungan. Karyawan terpaksa diberhentikan setelah dikasih gaji terakhir, kami pun bangkrut. Aku berpikir untuk pulang kampung, tapi tidak mungkin aku sendirian, tanpa membawa perempuan itu.
Terjadi pergolakan batin dalam diriku. Kalau aku membawa Ratih pulang, apa kata orang-orang nanti. Tidak mungkin kusebut ia saudara kembarku, karena semua orang kampung tahu aku tidak punya saudara kembar. Keluargaku juga belum tentu bisa menerima Ratih, kalau ia lama tinggal di rumahku. Lagian ia kerja apa nanti di sana? Tak mungkin ia cuma makan tidur. Kalau ia tidak ikut, terus dia di sini ngapain dan dengan siapa? Aku sudah capek-capek cari kerja buat dia, biar aku pergi dengan tenang, tapi belum dapat.
“Ratih, rencana aku mau pulang kampung, mau ikut?” kataku sambil memandang wajahnya sedih, air mataku hampir saja menitik. Aku paksakan menahannya. Kalau aku pergi pasti ia yang sendirian merasa terpukul. Kecuali kalau aku pulang untuk beberapa hari saja.
“Berapa hari, Bang?”
“Tidak tahu Ratih, mungkin selamanya.”
Mendadak wajahnya pucat. Terbayang olehku aku sudah di kampung halaman, ia yang sendirian menganggur di sini, tak mampu bayar kontrakan kami yang sisa tinggal beberapa hari lagi sudah jatuh tempo. Aku takut ia mengambil jalan pintas menjadi pelacur.
“Kalau boleh, aku ikut, Bang?” suaranya serak.
Aku bisa memahami perasaan perempuan itu. Dan entah kenapa, aku yang merasa kasihan refleks memeluknya erat sekali.
***
Aku bawa ratih ke kampungku. Awalnya kami disambut dengan baik oleh keluargaku di rumah. Sudah terbaca olehku apa yang ada dalam pikiran mereka tentang perempuan itu, termasuk ibuku. Setelah mereka tahu yang sebenarnya, Ratih bukan kekasihku, cuma sekadar teman yang bertemu di rantau, wajah keluargaku semakin tidak bersahabat pada perempuan itu, terutama ibuku yang sudah tahu Ratih tidak punya keluarga lagi. Dan yang menyedihkan, Ratih pernah kubawa ke rumah sauadaraku. Kami duduk di atas tikar yang baru saja dibentang. Setelah mereka bertanya bagaiamna kabarku, dan aku jawab sehat, terus sebaliknya aku pun bertanya bagaimana kabar mereka, mereka jawab sehat-sehat saja. Setelah itu tidak ada mereka beramah-tamah padaku seperti biasa, meskipun aku sudah mengawalinya. Aku merasakan ada perubahan pada diri mereka terhadapku yang datang membawa perempuan itu.
Melihat wajah kami yang kembar, tidak sedikit pun menarik perhatian mereka untuk bertanya perempuan yang bersamaku itu siapa? Orang mana? Bertemu di mana? Mereka juga tidak ada memberi minum untuk kami, walaupun sekadar air putih, juga tidak ada menawarkan makan, seperti kebiasaan di kampungku ketika menerima tamu, terutama karena masih bagian dari saudara.
Akhirnya aku dan Ratih pergi membawa hati yang kesal. Aku malu pada perempuan yang hidupnya sudah terluka itu. Dia yang tidak punya siapa-siapa, begitu aku bawa ke tengah-tengah keluargaku, dia tidak diterima, diperlakukan kasar, sepertinya dianggap tak ada. Ada apa dengan kampung halamanku yang dulunya damai, sekarang sunyi senyap tanpa keceriaan. Sebelumnya tak pernah kampung halamanku memperlakukan orang asing seperti itu.
***
Ratih baru saja disuruh ibuku belanja ke pasar membeli keperluan dapur. Beberapa menit Ratih baru meninggalkan rumah, ibu memanggilku, menyuruhku duduk di sampingnya.
“Sampai kapan Ratih di sini, Nak?”
Aku merasa kata-kata itu bermaksud mengusir Ratih dari rumahku. Jika ibuku bermaksud seperti itu, aku pasrah dan tidak mungkin melawan melakukan pendurhakaan gara-gara mempertahankan seorang perempuan.
“Belum tahu, Bu. Dua hari yang lalu aku menelpon kawan di Pekanbaru, minta tolong dicarikan kerja buat Ratih, Bu. Kalau nanti ada, ia langsung berangkat.”
Lama Ibu tak menjawabku, sepertinya ia memikirkan sesuatu.
“Kau tahu sendiri, kampung kita sekarang lagi ada masalah, gara-gara persengkataan tanah ulayat, sampai-sampai saudara sama saudara ada yang tidak saling tegur. Tiba-tiba dalam kondisi runyam seperti ini, kau bawa pula perempuan yang tidak jelas ke rumah kita,” kata ibuku.
Sudah terang-terangan ibuku menunjukkan tidak suka pada Ratih. Pernyataannya menjawab rasa penasaranku yang diperlakukan tak acuh, waktu aku dan Ratih pergi ke rumah saudara dari almarhum ayahku. Kenapa kami dicuekin begitu saja, ternyata jawabannya gara-gara persengketaan tanah ulayat yang belum selesai. Ibuku cerita tentang semua itu.
Konflik tanah ulayat semakin membesar dari hari-hari sebelumnya. Kampungku yang dulu bersatu padu, dan saling merangkul, sekarang pecah jadi dua kelompok, dan tidak mustahil bisa berujung pembunuhan nanti. Inilah yang aku khawatirkan. Orang-orang yang berpendidikan di kampungku tidak bisa mendamaikan itu, malah ada yang ikut-ikutan secara terang-terangan. Di tempat ibadah pun, mereka tetap menunjukkan permusuhan. Mereka tidak mau satu shaf ketika salat dengan orang yang berbeda kelompok dengan mereka. Kelompok yang satu akhirnya mengalah. Mereka mendirikan masjid penuh keringat di tanah yang baru mereka beli.
“Kau lihat sendiri, Ratih tidak bisa bekerja untuk membantu perekonomian kita, Nak. Waktu dibawa ke sawah pun, sehari setelah itu dia langsung sakit,” kata ibu lagi.
Aku sudah bisa membaca, ke mana arah pembicaraan ibuku. Ujung-ujungnya nanti menyuruh Ratih pergi dari sini.
“Setelah dia pulang dari pasar nanti, ajak dia ngobrol baik-baik. Usahakan agar secepatnya dia berangkat lagi ke Pekanbaru!”
Napasku sesak mendengar kalimat perintah itu.***
Depri Ajopan, adalah anggota Komunitas Suku Seni Riau. Mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassa’dah, Kepenuhan Barat Mulya, Rokan Hulu, Riau, sebagai guru Bahasa Indonesia. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media, cetak maupun daring. Selain menulis cerpen juga menulis beberapa novel yang sudah dibukukan.
Editor: Anton WP
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















