PERCA

Kompleksitas Manusia dalam "The House of the Spirits"

Budaya Jumat, 24 April 2020 - 00:12 WIB | 1033 klik
 Kompleksitas Manusia dalam "The House of the Spirits"

 

Saya menunggu cukup lama novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, setelah menonton filmnya tahun 1994, dan membaca novelnya dengan segala keterbatasan dalam bahasa Inggris tahun 1999 di sebuah perpustakaan asing di Jakarta. Dan kini, betapa bahagiannya saya ketika bisa membacanya dalam edisi Indonesia.  
 

Baca Juga : Pasar Janda

THE House of the Spirits (La casa de los espíritus, 1982) adalah novel perdana yang ditulis Isabel Allende. Setelah Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude [Cien años de soledad, 1967]) yang ditulis Gabriel García Márquez, inilah menurut saya novel terbaik Amerika Latin yang ditulis oleh keponakan Salvador Allende, Presiden Cili yang digulingkan dalam kudeta berdarah. Diakui atau tidak, kondisi politik saat pamannya dibunuh oleh militer, menginsipirasi Isabel untuk menulis novel ini. 

Novel ini bercerita tentang kehidupan keluarga Trueba, yang mencakup tiga generasi, yang menelusuri gejolak sosial dan politik pasca-kolonial dari negara Amerika Latin, yang diceritakan lewat prespektif dua tokoh protagonis, Esteban Trueba, dan cucunya, Alba, dan menggabungkan unsur-unsur magic realism (realisme magis), salah satu aliran prosa yang berkembang di Amerika Latin, dengan  Marquez sebagai salah seorang pelopornya. Beberapa pembaca mengklaim bahwa novel ini adalah roman à clef (novel yang karakter-karakternya mirip dengan tokoh nyata). Menurut mereka, Si Penyair dalam novel tersebut mungkin Pablo Neruda, sedang sang kandidat presiden adalah karakter dari Salvador Allende. 

Awalnya, novel ini ditolak oleh penerbit berbahasa Spanyol, tapi kemudian menjadi best-seller ketika diterbitkan di Barcelona pada tahun 1982. Dalam waktu cepat, novel ini menjadi bahan pembicaraan di seluruh negara berbahasa Spanyol, sebelum kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dibicarakan di seluruh dunia yang menahbiskan Isabel Allende sebagai salah satu novelis/sastrawan kelas dunia.

Pada tahun yang sama, novel ini menjadi Best of the Year di Cili, dan Isabel menerima penghargaan dari negara, Panorama Literario. Hingga kini, novel ini telah diterjemahkan ke lebih dari 28 bahasa dunia, baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Rony Agustinus dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama Juni 2010 ini. Buku ini pertama kali yang disusun oleh Isabel ketika ia menerima kabar bahwa neneknya sedang sekarat, dan ia mulai menulis surat kepadanya yang akhirnya menjadi naskah awal dari The House of the Spirits. 

Novel ini telah digunakan dalam kurikulum sekolah dan universitas di seluruh dunia, terutama untuk pemahaman dan contoh karya bergenre realisme magis. Organisasi Pendidikan International Baccalaureate mengakui bahwa novel ini sebagai salah satu buku studi sastra terbaik dunia. 

Pada tahun 1993, novel ini diadaptasi menjadi film dengan judul sama oleh sutradara Denmark, Bille Agust. Karakter Esteban Trueba diperankan oleh Jeremy Irons, Meryl Streep sebagai Clara del Valle Trueba, Winona Ryder sebagai Blanca Trueba, Glenn Close sebagai Férula Trueba, Sasha Hanau sebagai Alba García Trueba, dan Antonio Banderas sebagai Tercero Pedro García. Dalam beberapa festival yang diikuti, film adaptasi ini memenangkan penghargaan di Bavarian Film Awards, German Film Awards, Golden Screen (Jerman), Havana Film Festival, dan Robert Festival (Denmark), juga mendapatkan penghargaan dari German Phono Academy dan The Guild of German Art House Cinemas. 

Hanya saja, jika Anda sudah nonton filmya terlebih dahulu sebelum membaca novel ini, mungkin Anda agak sedikit kecewa dengan “ketidakpatuhan” Bille August –yang juga menulis skenarionya— pada naskah novelnya. Dalam novel aslinya, narator yang mengantarkan kita pada cerita adalah Alba Garcia, dari awal hingga penutup novel diselingi oleh Esteban Trueba. Alba-lah perangkai seluruh karakter dalam novel hingga menjadi sebuah plot yang lengkap, padat, dengan kesimpulan yang sugestif tentang karakter buruk kakeknya (Esteban Trueba) dan sisi gelap Kolonel Esteban Garcia (anak hasil perkosaan Esteban Trueba terhadap seorang pembantu Indian –-kelak, saat revolusi, ia menjadi komandan polisi rahasia yang menculik, menyiksa, dan memperkosa Alba karena dendam terhadap keluarga Trueba) menjadi sebuah penyadaran bahwa dendam harus diakhiri dan masa lalu buruk harus ditinggalkan, dengan mengenang segala yang baik. 

Dalam film, Blanca-lah sang narator, wanita cantik keras kepala yang memilih aliran Marxis, berseberangan dengan sang ayah, senator dari Partai Konservatif yang kalah dalam pemilu oleh Partai Rakyat beraliran sosialis-komunis, yang salah satu tokohnya adalah Pedro Torcero Garcia, kekasih Blanca, anak seorang mandor di tanah pertanian Trueba, yang hubungannya dengan Blanca tak direstui Trueba –-namun kemudian diselamatkan Trueba ke Kedutaan Kanada ketika dikejar-kejar tentara saat kudeta. Dalam film, Blanca (ibu Alba) yang menjadi pusat cerita, yang harus menerima siksaan, penderitaan dan perkosaan dari Kolonel Esteban Garcia, saudara satu ayah yang tak diakui. Sementara Alba hingga akhir cerita tetap menjadi gadis kecil, yang menjadi saksi kematian Clara, yang menemani saat-saat sepi Esteban Trueba setelah ditinggal Clara, juga saat menunggu nasib Blanca yang ditahan tentara, sekaligus cucu kesayangan yang perannya tak sekuat dalam novel. 

“Ketidakpatuhan” Bille August dalam film ini memang membuat kita akhirnya menemukan sebuah cerita yang “berbeda” dengan rasa yang juga “berbeda” dari karakter film saat membaca novelnya —sekali lagi, ini jika Anda terlanjur menonton filmnya lebih dulu— meski tetap tak kehilangan kekuatan dan inti plot, baik dalam novel maupun film, yang sejatinya tak jauh berbeda. 

Yang juga agak "mengganggu" adalah The House of The Spirits yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiah menjadi Rumah Arwah. Judul yang sekilas menjelaskan seolah-olah novel ini bergenre horor, padahal “House” dan “Spirits” yang dimaksud dalam keseluruhan cerita ini adalah bagaimana rumah –-dua buah rumah, yakni satu rumah megah di Las Tres Maria yang dibangun oleh Esteban Trueba di sebuah dataran tinggi pegunungan tempat di mana dia membangun tanah pertaniannya, dan sebuah rumah di Kota Santiago yang disebut sebagai “rumah besar di sudut jalan”; dua rumah— yang menjadi inti cerita dengan beragam karakter orang di dalamnya yang memiliki kisah masing-masing dan saling memiliki benang merah sangat kuat. 

Isabel bukan hanya hendak bercerita tentang Clara yang seolah-olah menjadi arwah gentayangan karena rohnya selalu hidup dan mendatangi orang-orang yang dikasihinya, namun dia hendak menjelaskan bahwa ada hubungan yang tetap terjalin antara dunia nyata dengan dunia setelah kematian, yang saling memberi sugesti untuk dijadikan kekuatan melawan apapun. Salah satu contoh adalah ketika roh Clara mendatangi Alba, cucunya (dalam film, karakter diubah menjadi Blanca, ibu Alba), yang diculik, disekap, dan diperkosa para polisi rahasia. Alba yang putus asa karena tersiksa lahir bathin, akhirnya bisa menghadapi itu —termasuk membebaskan seluruh rasa sakit ragawi dan jiwanya— setelah berkomunikasi dengan roh Clara. 

“Ada banyak hal yang harus kau lakukan, jadi berhentilah meratapi diri, minum air, dan mulailah menulis,” Clara memberitahu cucunya sebelum menghilang sebagaimana ia muncul. (Hal. 573) 

*** 

ISABEL Allende lahir di Lima, Peru, tahun 1942, namun berdarah Cili, tumbuh dan dewasa di negeri itu. Dia pernah bekerja sebagai wartawan, pembawa acara televisi, penulis skenario film, dan buku anak-anak. Dia meninggalkan Cili setelah Salvador Allende dibunuh dalam sebuah kudeta berdarah tahun 1974. Dia kemudian bekerja di Venezuela dari tahun 1975 hingga 1984, sebelum kemudian memilih tinggal dan menetap di Amerika Serikat bersama sang suami, Willie Gordon, hingga kini. 

Setelah debut The House of the Spirits yang sukses, Isabel mengikuti aturan mulai menulis semua buku-bukunya pada tanggal 8 Januari. Alasannya sederhana. “Pada 8 Januari 1981, saya tinggal di Venezuela dan saya menerima panggilan telepon dari nenek tercinta yang sedang sekarat. Saya mulai menulis surat untuknya yang kemudian menjadi novel pertama saya, The House of The Spirits. Sungguh sebuah buku yang sangat beruntung dari awal, dan saya akan selalu memulai menulis dari keberuntungan itu,” katanya seperti ditulis dalam situs pribadinya. 

Selain The House of The Spirits, beberapa novel Isabel yang lain yang juga mendapat apresiasi tinggi antara lain De amor y sombras (1984, diterjemahkan ke bahasa Inggris tahun 1987 menjadi Of Love and Shadows [tahun 1994 difilmkan oleh sutradara Betty Kaplan, dibintangi oleh Antonio Banderas dan Jenifer Connelly, bercerita tentang sepasang jurnalis muda yang melakukan investigasi terhadap kasus menghilangnya seorang gadis muda yang diculik oleh militer]); Cuentos de Eva Luna (1989, edisi bahasa Inggris, Stories of Eva Luna [1991]); El Plan infinto (1991, diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Infinite Plan [1993]); Hija de la fortuna yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Daughter of Fortune (1999), dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Putri Keberuntungan (Gramedia Pustaka Utama, Desember 2009); serta Retrato en sepia (Portrait in Sepia, Mei 2001).

*** 

CERITA novel ini dimulai dengan keluarga Del Valle, berfokus pada Clara dan Rosa. Putri bungsu, Clara del Valle, memiliki kekuatan paranormal dan menyimpan buku harian rinci dalam hidupnya. Menggunakan kekuatannya, Clara memprediksi kematian-kematian dan masa depan dalam keluarga. Tak lama setelah itu, sang kakak, Rosa, meninggal karena diracun. Dari sinilah kisah panjang ini dimulai. Tunangan Rosa, seorang penambang miskin bernama Esteban Trueba, merasa hancur dengan kematian Rosa dan berusaha menyembuhkan patah hati dengan mengabdikan diri  di tanah pertanian Las Tres Maria. Dia cepat memperoleh simpati dari para petani. Sebagai tuan tanah, dia terkenal keras, tangan besi, egois dan memiliki tingkah aneh karena stres tinggi: suka memperkosa perempuan seenaknya. Dan korban pertamanya Pancha García, ibu Esteban García, yang kelak akan menjadi sumber malapetaka keluarganya. 

Setelah kematian ibunya, Esteban memutuskan  memenuhi keinginannya untuk menikah dan memiliki anak yang sah. Dia pergi ke keluarga Del Valle lagi untuk meminang Clara. Clara menerima lamaran itu (dia sendiri telah meramal pertunangannya itu dua bulan sebelumnya). Selama masa pertunangan mereka, Esteban membangun apa yang orang sebut sebagai “rumah besar di sudut jalan,” sebuah rumah besar di kota tempat keluarga Trueba akan hidup selama beberapa generasi.

Setelah pernikahan mereka, adik Esteban, Férula, datang dan tinggal bersama mereka. Férula sangat perhatian dengan Clara, dan saking dekatnya membuat Esteban cemburu dan marah, dan kemudian mengusir Férula keluar rumah. Ferula marah dan mengutuk Esteban, bahwa tubuh dan jiwa Esteban akan menyusut dan kering, serta akan mati seperti anjing. Meskipun tak menerima perlakuan Esteban terhadap adiknya sendiri, Clara tetap memperlihatkan jiwa yang tenang, teduh, penuh senyum dan cinta. 

Clara melahirkan anak perempuan bernama Blanca dan anak laki-laki kembar Jaime dan Nicolás. Saat musim panas, mereka tinggal di Tres Maria. Di sana, Blanca kecil berkenalan dengan Pedro Tercero, anak dari mandor ayahnya. Di belakang Esteban, keduanya saling mencintai dan akhirnya menjadi sepasang kekasih. Setelah gempa bumi yang menghancurkan sebagian Santiago, Esteban membawa keluarganya pindah permanen ke Las Tres Maria. Clara menghabiskan waktunya untuk mengajar dan membantu anak-anak petani, sedangkan Blanca dikirim ke sekolah biara, dan anak laki-laki kembar kembali ke sekolah asrama Inggris, yang keduanya terletak di kota. Di sekolah, Blanca pura-pura sakit sehingga harus dibawa pulang ke Las Tres Maria, di mana dia bisa bertemu dengan Pedro Tercero. Dia hanya ingin bertemu dengan Pedro. 

Esteban akhirnya memergoki Blanca dan Pedro yang sedang bercinta di tanah pertanian di suatu malam, dan dengan marah memukuli Blanca dengan cambuk. Clara yang datang melerai dan mengatakan tindakan suaminya sudah di luar batas, malah ditampar oleh Esteban hingga giginya tanggal. Clara kemudian memutuskan untuk tidak pernah bicara dengan Esteban lagi, dan membawa Blanca yang hamil muda pindah ke kota. Esteban marah dan kesepian, menyalahkan Pedro Tercero, dan menyiksanya dengan memotong tiga jari Pedro. Blanca kemudian dinikahkan dengan lelaki berdarah Prancis, Jean de Satigny, meskipun cintanya hanya untuk Pedro. 

Tak tahan kesepian di tanah pertanian, Esteban Trueba akhirnya menyusul Clara ke rumahnya di Santiago, namun dia masih sering pergi ke Tres Maria. Clara tetap tak mau bicara dengannya, Blanca juga tak akrab dengannya dan sibuk dengan idealismenya sebagai aktivis gerakan marxisme, di mana Pedro terlibat di dalamnya. Hanya Alba kecil yang dekat dengannya. Seiring dengan waktu, Esteban terpilih menjadi senator untuk Partai Konservatif, yang kelak di kemudian hari kalah dalam pemilu. Kekalahannya itu membuat Clara kasihan dan mulai berbicara dengannya. Beberapa tahun kemudian, Clara meninggal secara damai dan Esteban sangat sedih, sama sedihnya seperti ketika Rosa mati sebelum mereka menikah. 

Hidup tak bahagia, Blanca memilih berpisah dengan Jean de Satigny, dan  harus mengalami kehidupan yang miskin dengan penghasilan yang kecil sebagai menjual tembikar. Dia hidup bersama anak-anak kelas bawah, anak-anak cacat mental, dan menemukan kembali Pedro Tercero yang sekarang menjadi penyair dan tetap aktif dalam gerakan revolusioner marxis. 

Saat mulai tumbuh remaja, Alba masuk perguruan tinggi dan bertemu Miguel, yang kemudian menjadi kekasihnya. Miguel adalah seorang revolusioner, dan Alba ikut melibatkan diri dalam berbagai demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintah konservatif, di mana kakeknya ikut berperan di dalamnya. 

Namun masa-masa lebih buruk kemudian datang. Setelah kemenangan Partai Rakyat (gerakan sosialis-marxis) dalam pemilu, suasana politik Cili carut-marut. Takut akan kediktatoran komunis, Esteban dan rekan-rekannya sesama politisi merencanakan kudeta militer terhadap pemerintahan sosialis. Kudeta berhasil, namun seperti senjata makan tuan, keluarga Esteban justru merasakan dampak buruknya. Salah satu putranya, Jaime, dibunuh secara sadis, sementara Blanca dan Pedro juga diburu tentara sebelum diselamatkannya, dilarikan ke Kedutaan Besar Kanada. Di negara inilah keduanya membangun hidupnya. 

Hal yang sangat mengerikan harus dialami Alba (dalam film, oleh Bille August, porsi ini dialami oleh Blanca). Dia direnggutkan dari sang kakek, Esteban, di rumahnya, karena ikut sebagai aktivis sosialis-marxis, kemudian disiksa dan diperkosa oleh Kolonel Esteban Garcia, anak haram jadah Esteban Trueba, yang masuk sekolah militer atas bantuan Esteban Trueba. Garcia melampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya (karena tak diakui sebagai anak Esteban Trueba) kepada Alba, dengan alasan untuk mendapat informasi tentang Miguel, kekasih Alba, yang juga seorang aktivis sosialis. Namun sebenarnya, Garcia melakukan itu sebagai balas dendam terhadap apa yang dilakukan Esteban Trueba terhadap ibunya, Pancha Garcia, yang kemudian dibuangnya sebagai pekerja di tanah pertanian. Ketika Alba kehilangan keinginan untuk hidup karena sakitnya disiksa, dilecehkan dan diperkosa, dia dikunjungi oleh roh Clara yang memberitahu dia untuk tidak mengharapkan kematian karena hal itu akan didapat dengan mudah, tetapi yang justru sulit adalah bagaimana berjuang untuk tetap hidup karena hal itu akan menjadi sebuah  keajaiban. 

Esteban Trueba akhirnya berhasil membebaskan Alba dengan bantuan Transito Miguel Soto, seorang teman lama yang memiliki sebuah hotel tempat para petinggi junta militer bersenang-senang dengan para perempuan. Setelah membantu Alba menulis memoar keluarganya, Esteban Trueba meninggal dalam pelukan Alba, dan seperti didatangi roh Clara. Esteban mati dengan tersenyum, tidak seperti kutukan Ferula bahwa dia akan mati seperti anjing.

Alba menjelaskan dia tidak akan membalas dendam pada mereka yang telah menyiksanya, menunjukkan harapan bahwa suatu hari siklus manusia dari benci dan balas dendam dapat dipatahkan. Alba menulis buku memoar keluarganya untuk menghabiskan waktu sambil menunggu Miguel dan kelahiran anaknya, buah dari perkosaan yang dilaminya selama disekap oleh Kolonel Esteban Garcia, atau dari Miguel. 

“...Aku berpikir bahwa tugas hidup serta misiku bukanlah untuk memperpanjang kebencian ini, tapi semata-mata mengisi halaman-halaman ini sembari menunggu kembalinya Miguel, sambil menguburkan kakek yang kini berbaring di sampingku di kamar ini, seraya menunggu tibanya zaman yang lebih baik, sambil mengandung anak yang ada dalam rahimku, anak hasil dari begitu banyak perkosaan atau bisa jadi anak Miguel, namun toh bagaimanapun tetap putriku sendiri.” (Hal.599) 

Namun pada dasarnya, Alba dan novel ini secara keseluruhan bercerita tentang kompleksitas seorang manusia bernama Esteban Trueba dari segala sisi dirinya, sisi baik maupun buruknya. 

*** 

JIKA Anda membaca novel Saman karya Ayu Utami (pemenang lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 1998) sebelum membaca novel ini, Anda akan mengendus aroma yang mirip dalam setting saat Alba disekap, disiksa, dan diperkosa Esteban Garcia dan teman-temannya. Dalam Saman, karakter Saman mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual saat disekap oleh “orang-orang bersepatu lars dan berambut cepak” di salah satu rumah kosong tak berpenghuni. Jika Alba diperkosa, Saman dilecehkan secara seksual dengan kelaminnya diselomot puntung rokok dan strum listrik. Jika Alba didatangi roh Clara saat kehilangan kesadarannya, Saman didatangi oleh roh “adik” yang kemudian membebaskannya. Kedua novel ini sama-sama membawa semangat etika pembebasaan dengan realisme magis. Bedanya jika Isabel Allende mengeksploitasi trah sebuah keluarga, Ayu Utami mengeksploitasi dari sisi seksual para karakternya. Secara keseluruhan, roh novel ini juga dengan mudah akan kita hirup dalam novel Saman.*** 

Hary B Koriun
Riau Pos, 18 Juli 2010




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.