Kuala Lumpur Love Story (5)
(ISTIMEWA)
DI kepalanya masih terngiang apa yang dikatakan Martino tadi, juga Raditya dulu saat masih kuliah di Bandung. Apa yang kurang dari Dewi Utari? Apa yang kurang? Bentuk tubuhnya? Kecantikannya? Kebaikan hatinya? Ketenangannya? Kedewasaannya? Semua ada, bukan? Lalu, mengapa kau sia-saikan dia? Kau cari semua itu pada beberapa gadismu, sementara kau biarkan dia melihatmu dari jauh dengan wajah dingin saat kau merangkul salah satu gadismu?
Dia berusaha memejamkan matanya. Namun wajah Dewi kembali datang ke dalam pikirannya, berulang-ulang. Datang, pergi, datang, pergi, dan datang lagi. Dia tak ingin terjebak dalam situasi seperti ini. Walau bagaimanapun, Dewi adalah gadis paling dekat dengannya. Yang lain boleh datang dan pergi, tapi Dewi tak pernah pergi. Jika hubungan saat ini diubah menjadi hubungan kekasih, jika suatu saat dia pergi, maka hampir pasti tak akan pernah kembali. Dan, persahabatan, kini terbukti, lebih kekal dari percintaan. Dia tak ingin mengubah itu seperti mungkin Dewi juga tak menginginkan perubahan itu.
“Aku tak akan bisa jatuh cinta kepada lelaki seperti kamu,” kata Dewi suatu saat.
Di telinga Abi, itu sebuah candaan.
“Kita buktikan nanti. Jangan merengek-rengek ya kalau nanti kamu benar-benar jatuh cinta padaku?” kata Abi pura-pura serius.
“Aku serius,” kata Dewi lagi. “Lelaki seperti kamu tak akan membuat tentram perempuan…”
“Kenapa?” tanya Abi penasaran.
“Karena ketika kamu bersama seorang gadis yang di mana kalian terikat hubungan kekasih atau apalah namanya, matamu sering memandang, berpaling ke arah gadis-gadis lainnya yang menurutmu lebih cantik…”
“Hahhaaa… kamu salah menilaiku…”
“Sekian lama kita berteman. Aku tahu semua akal bulusmu jika itu sudah berhubungan dengan gadis-gadis cantik…”
“Memang itu menjadi masalah?” tanya Abi.
“Mungkin tidak bagiku, tapi bagi pacar-pacarmu itu pasti menjadi masalah…”
“Ah, itu kan perasaanmu saja.”
“Kamu harus belajar menghargai wanita-wanitamu, Abi…” kali ini suara Dewi terdengar serius.
Abi menatapanya. Mata yang lembut dan indah, sebenarnya, tetapi terlihat sangat tegas. Tak ada terlihat kesan sombong dan marah di sana, tapi menjelaskan bahwa apa yang dikatakannya tadi adalah sebuah kebenaran.
Abi yang tadi hampir tertawa ketika mendengar itu, tiba-tiba mengurungkannya setelah melihat mata lembut tapi tegas itu. Dia pura-pura menggaruk kepalanya yang tak gatal. Hal yang sering dilakukannya ketika dia tak tahu apa yang harus dilakukannya, termasuk ketika salah tingkah di depan gadis itu.
“Aku bicara serius,” sambung gadis itu lagi.
Kembali, Abi menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal itu.
“Iya iya. Aku tahu…”
“Seandainya aku kekasihmu dan kamu melakukan itu padaku, apakah kamu tega melihatku menderita karena tersakiti olehmu?”
"Aku... Aku..." suara Abi terdengar kelu. Dia tak bisa menjawabnya.
Hari itu Bandung terasa dingin. Seperti di hari-hari sebelumnya, hujan berhari-hari turun tak kenal waktu. Jalanan terlihat selalu basah. Aspal semakin hitam karena siraman air. Mereka sedang duduk di sebuah bangku di Braga ketika itu. Di seberang sebuah kedai kopi. Di sebelah bar yang terlihat ramai di senja menjelang malam itu. Angin berembus tak terlalu kencang, tetapi air hujan yang terus mengguyur terlihat meliuk karena terpaan angin itu.
Meski dibalut jaket tebal yang dipakainya, Abi melihat Dewi menahan dingin. Meski tak terlihat menggigil. “Mungkin kita perlu kopi di seberang itu,” kata Abi kemudian.
“Tidak usah. Aku ingin duduk di sini saja menikmati hujan…”
“Kamu kedinginan…”
“Tidak… Aku ingin melanjutkan pembicaraan tadi. Kamu jangan mengalihkan pembicaraan…”
“Pembicaraan yang mana?”
“Tentang caramu memperlakukan gadis-gadismu…”
“Mmmmm…”
“Kamu harus mulai serius. Pilihlah salah satu dari mereka, dan seriusilah…”
Terdengar suara Dewi yang agak melemah dan cenderung serak menjelang ujung kalimatnya tadi. Terdengar berat di telinga Abi. Dewi juga merasakan sendiri. Namun dia berusaha tenang di tengah gigil yang sebenarnya sudah mulai menyerangnya.
“Kamu terlihat menggigil… Ayolah kita menyeberang ke kedai kopi itu. Atau kita cari di sebelah sini saja dan tak usah menyeberang?” kata Abi, memang disengajanya untuk mengalihkan pembicaraan.
Dewi menoleh ke arah Abi. Ia tahu cowok itu memang sengaja mengalihkan arah pembicaraan. “Gayamu… Selalu begitu kalau diajak ngomong serius…” katanya kemudian sambil tersenyum ketika melihat Abi sering menggaruk kepalanya.
“Aku sedang tak mau membicarakan orang lain. Aku mengajakmu jalan ke sini untuk menemanimu menikmati hujan. Tadi aku hampir membawa payung, tapi aku tahu kamu tak pernah mau pakai payung saat hujan begini. Aku sengaja memakai jaket tebal ini kalau-kalau kamu kedinginan. Ternyata kamu sudah memakai jaket sendiri…”
“Jangan sok romantis…”(Bersambung)
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















