Kuala Lumpur Love Story (6)
(ISTIMEWA)
“NGGAK boleh ya romantis pada teman sendiri?”
“Jika aku kekasihmu… Aku kan bukan kekasihmu…”
“Kamu lebih penting dari semua gadis yang pernah menjadi pacarku…”
“Gombal kamu! Aku pula yang kamu gombalin… Pret!” kata Dewi sambil memejet hidung Abi. Kemudian ia tertawa, namun terdengar lembut di telinga Abi.
Teringat itu, Abi mengeluh dalam hati. Mengapa kami harus mengikrarkan bahwa sampai kapan pun kami tetap sahabatan? Bukankah sebenarnya ia gadis yang paling memahami diriku? Yang selalu ada ketika aku membutuhkannya? Yang kadang membetulkan kancing bajuku yang salah masuk sehingga banyak mahasiswa yang bilang aku berdandan seperti badut? Bukankah dia selama ini tak menuntut apa pun dariku seperti gadis-gadis lain yang selama ini menjadi pacarku? Bahkan ketika dia ngajak bertemu dan aku bilang sedang bersama si Meli, Luna, atau Valeria, dia memilih mengalah dan bilang bahwa mereka lebih penting dari dirinya?
Dan kini, segala kenangan di Bandung itu kembali dalam ingatannya.
Hujan turun sangat deras ketika Abimanyu sampai di Stasiun MRT Bukit Bintang. Keluar dari kereta, dia masuk ke ruang tunggu dan duduk di salah satu bangku panjang di sudut. Banyak orang keluar-masuk di stasiun ini. Salah satu stasiun paling ramai di Kuala Lumpur. Dari Stasiun Bukit Bintang ini, hampir semua jurusan penting bisa dijangkau sehingga lalu-lalang orang tak pernah berhenti.
Bukit Bintang adalah kawasan shoping paling terkenal di kota ini. Orang-orang asing dari berbagai negara ada di sini. Hampir semua orang sepakat, inilah surga wisata belanja di Malaysia. Juga kulinernya. Tak ketinggalan juga hiburan. Ini wilayah yang tak tidur. Orang-orang bisa tak tidur sampai pagi. Mereka bisa menikmati apa saja. Hiburan malam di night club, karaoke, minum-minum di bar, makan serba-enak di Alor. Dan sebagainya. Deretan mal besar, hotel, bar dan kelab malam akan menyapa.
Deretan mal besar membentang di depan mata. Ada Pavilion KL, Berjaya Times Square, Sephora Starhill Gallery, Fahrenheit 88, Lot 10, Sungai Wang Plaza dan lain sebagainya. Dari satu mal ke mal lainnya tak sulit karena lokasinya memang berdekatan. Buat yang mau belanja barang fashion branded, silakan ke Pavilion KL.
Sejumlah brand yang ada di sini adalah Coach, Versace, MaxMara, Dolce & Gabbana, Yves Saint Laurent. Ada pula Forever 21, hingga Pull & Bear. Asyiknya lagi, ada WiFi gratis yang bisa dipakai pengunjung.
Sedangkan kalau mau belanja baju, celana, aksesoris dan barang fashion lainnya dengan harga murah dan tentunya bersahabat di kantong, traveler bisa mampir ke Sungai Wang Plaza. Kalau mau menawar harganya pun bisa.
Capek belanja, saatnya istirahat sambil bersantap. Mencari makanan tak sulit, biasanya di mal-mal tersebut sudah tersedia food court. Di sekitar Jalan Bukit Bintang juga ada sejumlah restoran dengan menu bercita rasa Timur Tengah. Area ini pun tak jarang disebut sebagai Arab Street.
“Kau akan sendirian di Kuala Lumpur nanti…”
Abi teringat kalimat itu. Dewi. Ia sedang mempersiapkan kuliah bisnis S2-nya di Leicester, seperti yang diinginkan ayahnya. Sedang Abi tetap kukuh ingin melanjutkan S2-nya di Kuala Lumpur saja. Sebenarnya lebih tepatnya di Selangor. Maklumlah, tak banyak uang yang dimilikinya dibanding keluarga Dewi.
“Kalau kamu mau, kita bisa sama-sama ke Leicester,” kata Dewi ketika itu
“Bercanda kamu. Ayahku hanya pegawai kecil di Bea Cukai yang hingga hari ini masih tak mau makan uang sogok…” kata Abi sambil tertawa. “Kalau dari dulu ayahku mau menerima uang enak itu, tak perlu aku bekerja paruh waktu sebagai wartawan ketika kuliah di Bandung. Tapi aku bangga dengan ayahku…”
“Iya. Kamu harus bangga dengan apa yang dilakukan ayahmu. Tak banyak orang yang bekerja di bea cukai tak tergoda dengan lalu-lalang uang pelicin di sana…”
“Iya. Aku sudah berdiskusi dengan ayah dan ibuku soal kuliahku di Kuala Lumpur nanti…”
“Aku bisa bicarakan itu dengan papaku,” kata Dewi. “Aku bisa membuat alasan kalau aku perlu seorang teman yang sangat kupercaya. Kamu… Aku bisa bicara ke papa agar kamu masuk ke salah satu perusahaannya. Dan dari sana ada alasan kalau kamu harus meneruskan studi demi masa depan perusahaan. Kamu kuliah dengan uang perusahaan, sebagai karyawan yang disekolahkan…
Abi terkejut. Reflek dia menatap gadis cantik berambut panjang di depannya itu. Mereka sedang nongkrong di sebuah kafé di lantai 4 Senayan City ketika itu.
“Kenapa? Ada yang salah? Kok kamu terkejutnya kebangetan gitu?”
“Dewi…” katanya dengan suara tertahan. “Jika pun itu terjadi, misalnya papamu menyetujui, aku yang tak mau…”
“Kenapa?”
“Ya nggak mungkinlah… Itu tak baik untuk perusahaan papamu. Tak baik bagi karyawan lain…”
“Iya, aku paham pikiranmu bagaimana. Kamu bertahan dengan harga dirimu, kan?”
“Hanya itu yang kumiliki, Dew…”
Hujan masih belum reda. Semakin deras. Terlihat angin yang meniup air dan tempiasnya menerpa kaca jendela. Terlihat embun menutupi beberapa ruas di kaca jendela itu. Nampaknya, dia harus menunggu lama lagi. Harus tetap di ruang tunggu itu beberapa waktu lagi.
“Aku hanya mencarikan jalan. Bisa saja memakai jalan lain, beasiswa misalnya, tetapi tetap harus campur tangan papaku…” kata Dewi lagi, saat itu.
“Caranya?” tanya Abi sambil menatap mata indah gadis itu. Ada yang mendesir di dadanya, namun dia berusaha mengenyahkannya.
“Papa kenal dengan banyak orang dari banyak kalangan. Papa bisa bicara dengan orang di pemerintahan yang bisa mengeluarkan beasiswa…”
“Aku tak bisa, Dew… Aku tetap mimilih ke Kuala Lumpur. Aku sudah bicara dengan sebuah harian di Jakarta ini, aku bisa menjadi korespenden mereka untuk Kuala Lumpur. Aku bisa hidup dengan pekerjaan itu. Aku juga punya tabungan yang lebih dari cukup untuk biaya kuliah, sewa flat, dan kehidupan sehari-hari di sana...”(Bersambung)
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















