Lokalitas Harus Jadi Kekuatan dalam Cerpen, Bukan Tempelan
Para peserta dan pembicara diskusi cerpen foto bersama setelah acara di Pekanbaru, Minggu (4/5/2025). (PARAGRAF/RIAUGLOBE)
RIAUGLOBE (PEKANBARU) - Menjadikan lokalitas dalam cerita pendek (cerpen), mestinya tidak hanya dijadikan sebagai tempelan semata, tetapi memang menjadi inti dari cerita tersebut. Jika hanya menjadi sebuah tempelan, maka cerpen yang ditulis tidak mendalam dan struktur bangunannya tidak terlalu kuat.
Hal itu dikatakan dosen FIB Universitas Lancang Kuning (Unilak), Alvi Puspita SPd MA, ketika menjadi pembicara tunggal dalam diskusi "Cerpen Riau: Hari Ini dan Esok" yang diselenggarakan Komunitas Paragraf. Lebih 25 peserta dari lintas komunitas hadir dalam kegiatan yang ditaja di Sy Wen Coffee, Pekanbaru, Minggu (4/5/2025) tersebut.
Mereka yang hadir antara lain penyair Murparsaulian, Sugiarti (FLP Riau), Husin (NonBlok), Siti Salmah (Escewe), Pramudia Pangestu (Tikum Buku), Bambang Kariyawan (FLP), penulis Efry Juani (Tapung, Kampar), akademis Dr M Badri (UIN Suska), Wahyudin (Hutan Biru), Prayogi Hadi Santosa (Suku Seni), Sinta Saraswati (Pekanbaru Bookparty), Helsi Ramadhani (Unri), Muhamad Rafi (Kalistra), penyair dan pegiat lingkungann Budy Utamy, pegiat literasi Putra Arif, penulis Nandik Sufaryono, Delfianty Martin, dan yang lainnya.
Dari Komunitas Paragraf sendiri hadir WS Djambak yang menjadi moderator, Redo van Jamil sebagai pembawa acara, serta Anton WP dan Andreas Mazland. Diskusi yang berlangsung selama hampir 3 jam dan 3 sesi itu berlangsung panas dan bernas karena para penanya maupun penanggap banyak yang saling kritik, termasuk pernyataan Alvi tersebut.
Lebih lanjut Alvi menjelaskan, di masa lalu, banyak cerpenis Riau yang menjadikan lokalitas Melayu sebagai kekuatan inti dari cerpen yang ditulisnya. Selain memang mengalami langsung dan menjadi keseharian, mereka juga banyak memberikan nuansa perlawanan budaya atau sosial. Seperti diketahui, di masa lalu Riau adalah negeri kaya yang dipinggirkan dalam proses pembangunan di Indonesia, terutama masa Orde Baru (Orba). Padahal, Riau penghasil devisa tertinggi, dan menyumbangkan bahasa Melayu sebagai dasar dari bahasa resmi negara.
"Itu salah satu mengapa karya-karya Ediruslan PE Amanriza, Hasan Junus, Rustam S Abrus, BM Syamsudin, Taufik Ikram Jamil, atau Abel Tasman, sangat dihargai di tingkat lokal maupun nasional. Karena mereka benar-benar menjadikan lokalitas sebagai kekuatan," ujar alumnus Ilmu Sastra FIB Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Di masa kini, kata Alvi, banyak penulis cerpen Riau yang menjadikan lokalitas sebagai tempelan. Dia tak menyalahkan hal itu sepenuhnya kepada penulis. Sebab, berbagai lomba yang diselenggarakan di Riau juga terkesan memaksakan lokalitas sebagai tema utama. Akhirnya banyak penulis yang tidak melakukan riset dalam memahami lokalitas, terutama Melayu, saat menulis. Akhirnya banyak kesalahan fatal yang terjadi.
Menurut Alvi lagi, di masa kini, tak banyak cerpenis Riau yang muncul dan "terlihat" secara luas, termasuk di tingkat nasional. Dia berharap mereka terus belajar dan mengembangkan diri dan suatu saat akan menjadi kekuatan kesusasteraan Riau, terkhusus cerpen, seperti para penulis Riau lainnya.
"Harapan kita, dunia penulisan cerpen Riau harus terus berkembang dengan memunculkan para penulis yang kuat dan bisa bersaing secara nasional seperti dulu," kata Alvi mengakhiri.(rg-01)
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















