Kuala Lumpur Love Story (7)
“JIKA aku menghiba padamu, kamu tak mau juga pergi bersamaku ke Inggris?” kata Dewi dengan tatapan tajam namun terlihat indah di mata Abi. Dia sampai kikuk dan memandang ke arah lain untuk menghilangkan kekikukannya.
Beberapa detik Abi tak bisa berkata apa-apa. Kata-kata Dewi seperti menusuk hatinya. Selama ini mereka dekat, gadis itu tak pernah meminta apa pun darinya. Tapi, kali ini dia memohon. Memintanya “menemaninya” kuliah di Inggris. Di Leicester. Sementara keinginannya hanyalah ke Kuala Lumpur. Atau, jika itu tak juga mampu dilakukannya, dia bisa meneruskan kuliah di Jakarta, atau tetap di Bandung. Atau lagi, jika memang semuanya tak mungkin, dia akan mencari pekerjaan dulu. Menjadi wartawan. Cetak maupun di televisi. Atau online. Dia punya ilmu tentang itu. Dia kuliah di bidang itu. Ketika di Bandung, dia juga kerja part time di Bandung Globe, sebuah koran harian di sana.
Dia menghela napas sejenak. Kemudian, “Mengapa harus aku, Dew?” katanya kemudian.
“Aku percaya kamu…” jawab gadis itu.
“Aku tahu. Tapi… Jangan menghiba padaku. Aku tak akan bisa menolaknya… Please!”
Kali ini justru Dewi yang terdiam mendengar itu.
Kini ia bisa memahami bahwa apa pun yang dilakukannya, Abi tak akan bisa. Jika pun bisa, itu karena terpaksa. Seperti kata-katanya tadi. Jika ia menghiba, Abi pasti mau bersamanya ke Leicester. Tetapi itu semu. Badannya saja yang akan berangkat ke sana. Ada di sana. Tetapi hatinya tak pernah akan ada di sana. Dewi tak mau itu. Dia ingin, jika Abimanyu mau ke sana, itu muncul dari kesadarannya, dari keinginannya sendiri. Jika itu karena terpaksa, maka ia bisa memahami bahwa Abi tak menginginkannya.
“Aku tak akan menghiba atau memohon padamu…” katanya kemudian. “Aku tahu kamu tak akan mau ikut denganku… Maksudku, kuliah bersamaku di sana, apa pun yang akan kulakukan untukmu. Jika kamu mau pun, pasti bukan karena keinginanmu. Itu makanya kamu bilang: ‘Jangan menghiba padaku. Aku tak akan bisa menolaknya… Please!’. Baiklah. Aku akan pergi sendiri. Aku akan ke sana sendiri. Kamu tak perlu memikirkan aku…”
Dewi tahu, dia harus kuat. Dia tak boleh menangis di depan lelaki ini. Dia harus bertahan. Dia tahu, sedikit saja dia goyah maka air matanya akan tumpah. Air itu sudah berada di pintu kelopak matanya.
“Bukan begitu maksudku… Dew…” kata Abi dengan suara yang terdengar agak berat dan serak.
“Aku tahu maksudmu… Aku mengenalmu sudah lama. Tak apa. Aku akan berangkat sendirian ke sana. Aku akan penuhi keinginan papa…”
Abi masih teringat itu semua. Dia melihat ke luar ruang tunggu MRT Bukit Bintang itu. Jalanan masih basah, tetapi hujan sudah mulai reda. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Tiba-tiba matanya melihat seseorang: gadis yang membuatnya penasaran di perpustakaan negara tempo hari. Gadis yang di tangannya memegang buku buku Control of Land and Labour in Colonial Java karya Jan Breman.
Gadis itu sedang menyeberang jalan menuju Alor. Memakai jins hitam ketat dan kaos warna abu-abu dengan tas ransel merek Deuter warna hitam. Dia mau mengejarnya, tetapi tiba-tiba bayangan gadis itu tak terlihat lagi. Namun cepat-cepat dia tersadar. Untuk apa mengejarnya? Bukankah gadis itu sudah membuatnya malu di depan para penungunjung perpustakaan yang sedang membaca buku ketika itu?
Dia lalu berjalan ke arah sebaliknya dari yang dituju gadis yang menurutnya agak aneh tadi. Dia menuju Sungai Wang Plaza, sebuah mal tak jauh dari situ yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki beberapa menit. Ada sesuatu yang dicarinya di sana. Itu tujuan utamanya tadi datang jauh-jauh dari Shah Alam. Tapi pada intinya, dia ingin bersantai, menikmati kesendirian. Dia mau ngajak Dewi tadi sebenarnya, tetapi kemarin gadis itu bilang kalau dia ada acara di kampusnya. Martino juga tak bisa pergi. Dia harus menyelesaikan tugas untuk dikumpul. Jadilah dia ke Bukit Bintang seorang diri.
Lalu dia ingat lagi.
Dewi jadi berangkat ke Inggris ketika itu. Dia mengambil master bisnis di University of Leicester. Abi ingin mengantarkannya sampai bandara, tapi Dewi tak membolehkannya. Ia bilang tak ingin berangkat dengan membawa tangis.
“Mengapa harus menangis?” Abi bertanya.
“Kita hampir selalu bersama setiap hari. Aku pasti akan membayangkan hari-hari di sana tanpa bertemu denganmu…”
“Kamu akan bertemu banyak teman baru. Mungkin banyak mahasiswa atau warga Indonesia yang tinggal di sana…”
“Tapi mereka bukan kamu…”
“Aku akan selalu mendoakanmu…”
“Iya…”
Abi menemani Dewi nongkrong di sebuah kafe di Kuningan ketika itu. Tak jauh dari Pasar Festival. Dewi ingin nongkrong sampai pagi. Ingin bersama Abi semalaman.
“Kamu juga pasti akan bertemu kawan baru di Kuala Lumpur, nanti,” kata Dewi dengan suara agak serak. “Mungkin salah satunya akan menjadi gadismu… Seperti kebiasanmu selama ini…” katanya lagi.(Bersambung)
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















