CERPEN YUDHI HERWIBOWO

Halte

Cerpen Minggu, 04 Mei 2025 - 11:27 WIB | 444 klik
Halte

DEPOSITPHOTO.COM

AKU ingat pesan terakhir ayah, “Pergilah dari kota ini! Selamatkan adikmu!”

Walau permintaan itu tampak sederhana, tapi itu adalah permintaan yang nyaris tak mungkin. Sama seperti yang lain, aku juga selalu ingin meninggalkan kota ini. Tapi ke mana? Dan yang lebih penting: bagaimana?

Baca Juga : Pasar Janda

Kota ini telah mati! Gedung-gedung telah hancur dan hanya menyisakan puing-puingnya saja. Asap pekat –yang kadang-kadang mengandung racun mematikan– seperti tak pernah lenyap dan terus muncul dari tanah, walau hujan sudah berkali-kali mengguyurnya. Pun semua jalanan yang melintasi semua sudut kota, sebagian seperti  terputus begitu saja, sebagian tertelan bumi, dan yang tersisa seperti tak lagi tampak ujungnya.

Tak ada yang menyangka kota ini –juga kota-kota lainnya di negeri ini– jadi seperti sekarang. Sepuluh tahun yang lalu semua masih tampak baik-baik saja. Pembangunan berkembang pesat, penghuni terus bertambah, termasuk teknologi yang terus berubah menjadi lebih modern. Banyak yang meramalkan kalau negeri ini akan  jadi salah satu negeri paling makmur di muka bumi. Namun, hanya satu malam saja, semua berubah.

Kini, aku yang hanya seorang pemuda berusia 15 tahun harus menghadapi ini semua. Terlebih setelah ayah akhirnya benar-benar harus pergi.

Yang terpikir olehku saat itu hanyalah cerita tentang sebuah halte yang masih didatangi bus-bus –entah dari mana– yang bisa membawa siapa pun pergi dari kota ini. Aku memang tak tahu cerita detailnya, namun yang kutahu beberapa orang dari tempat kami berlindung di sini, pernah memutuskan untuk pergi ke sana.

Jadi setelah aku bicara dengan adikku yang saat itu masih berumur 7 tahun, aku putuskan untuk meninggalkan tempat ini.

Ini keputusan yang mudah. Walau tempat kami berlindung selama ini hanyalah bekas gudang yang sebenarnya tertimpa dua gedung tinggi yang roboh, tetaplah tempat yang aman. Ada sekitar 150 orang yang berlindung di sini. Sebagian hanyalah orang-orang tua yang tak lagi bisa pergi ke mana-mana. Anak-anak muda telah memutuskan pergi sejak bertahun-tahun lalu.

Pak Pincang, pemimpin di tempat perlindungan ini, awalnya tak rela membiarkan aku pergi. Hanya tersisa beberapa pemuda di tempat ini, dan aku adalah yang terajin di antara semuanya. Tapi ia tak bisa menahan keinginanku, karena ia sendiri juga mendengar saat ayah mengucapkan kalimat terakhirnya.

Jadi ia hanya bisa menepuk pundakku sambil berkata, “Hati-hatilah! Kembalilah kalau kau tak menemukannya!”

Aku mengangguk, walau aku tak yakin akan kembali lagi ke sini.

Aku kemudian berjalan pelan meninggalkan tempat ini. Adikku mengikuti langkahku di belakang, tanpa banyak bicara. 
Ketika kami sudah cukup jauh berjalan, barulah ia bertanya, “Apakah ini jalan yang benar? Kenapa hanya ada puing-puing bangunan sepanjang jalan?” 

Aku mengangguk meyakinkannya. Aku memang tak tahu secara pasti di mana halte yang kami cari itu berada, namun setidaknya aku tahu kalau tempatnya ada di sisi timur kota. Jadi ke arah itulah langkah kami mengarah.

Aku tak lagi menghitung berapa lama kami berjalan. Siang dan malam berganti dengan lambat. Bahkan aku tahu, di saat-saat tertentu –saat asap tengah begitu pekatnya– siang seperti tampak menjadi malam.

Sekali-dua kali kami bertemu dengan beberapa orang yang sedang mencari makan. Dari mereka selalu kutanyakan di mana letak halte berada. Dan tak ada yang benar-benar tahu di mana halte itu. Cuma dari satu cerita, aku kemudian tahu kalau kawasan tempat halte itu berada adalah kawasan yang pertama kali hancur. Api membumbung tinggi hingga menjilat langit. Lalu, tak ada lagi yang tersisa di situ, selain asap hitam yang tebal. Namun, setiap hujan mengguyur dan menepikan asap hitam itu sesaat, saat itulah orang-orang dapat melihat halte itu berada.

Di saat keputusasaanku ada di titik puncak, dan aku hanya bisa terpuruk di jalanan aspal yang tersisa, adikku tiba-tiba menunjuk ke satu arah.

“Kakak lihat! Apakah itu halte yang kita cari?” ia menatap tak percaya.

Aku terpaku. Memandang halte itu dengan terpana. Bentuknya sedikit tak biasa, jelas bukan seperti halte-halte yang dibangun baru-baru ini, tapi malah tampak seperti halte-halte yang dibangun berpuluh tahun lalu, saat masih memakai besi sebagai atapnya, juga untuk kursi-kursinya. Di dinding-dindingnya masih terlihat stiker-stiker dan poster yang sudah tak dikenali lagi, dan tak bisa benar-benar dibersihkan. Tampak sekali kalau halte ini adalah halte lama yang luput diperbarui. Mungkin karena letaknya yang ada di pinggir kota yang sepi.

Aku sempat tak meyakini halte yang kulihat ini adalah halte yang kucari. Tapi saat melihat sekelilingnya, dan menemukan jalanan di depannya dengan ujung-ujung yang tak terlihat, aku mulai meyakininya. Terlebih saat beberapa orang mulai mendekatiku.

Seorang laki-laki tua yang menutupi satu matanya dengan kain, dan tampak sebagai pemimpin orang-orang itu, mendekati kami. “Apa kalian... orang-orang yang tengah mencari halte?” tanyanya.

***

AKU dan adikku dibawa oleh kelompok itu ke sebuah tempat berlindung. Sebuah bekas stasiun kereta api bawah tanah yang cukup luas, namun dari pintu masuk yang telah hancur, halte itu dapat terlihat dengan jelas. Ada sekitar 300 orang hidup berjejer-jejer di situ. Mereka semua pastilah orang-orang yang juga menunggu bus di halte itu.

Tak jauh berbeda dengan tempat asalku, kawasan ini pun sudah mati. Kehancurannya bahkan lebih parah. Kalau di tempatku masih terlihat sisa-sisa bangunan tinggi, di sini semuanya hancur hampir rata dengan tanah. Menimbulkan gundukan-gundukan di beberapa tempat, di mana –kadang– asap-asap beracun mulai menguar.

Aku dan adikku diizinkan tinggal di sini dengan beberapa tugas. Tentu aku langsung menyanggupinya karena aku merasa tugas-tugas itu tak terlalu berat bagiku. Di sini semuanya tampak telah terorganisasi dengan baik. Ada saluran air bersih yang terus mengalirkan, ada juga petugas penyediaan makanan yang selalu bisa mendapatkan makanan untuk semua penghuni, termasuk jadwal piket penjaga malam yang rutin dijalankan, termasuk kemunculan bus di halte itu. 

Aku dan adikku dengan mudah membaur dengan mereka semua. Dari semua orang yang tinggal di sana, banyak yang telah melihat dengan mata mereka sendiri bagaimana bus datang di halte itu.

“Mereka hanya berhenti beberapa menit saja, setelah itu, mereka pergi,” cerita seorang dari mereka.

“Walau tampak seperti bus pada umumnya, namun entah mengapa sepertinya bus itu bisa menampung banyak sekali orang,” sambung yang lain.

Suatu hari, ditemukan laki-laki yang terluka tergeletak di depan halte. Aku dan beberapa pemuda yang berjaga segera mendekat. Awalnya kami sangka ia juga orang-orang yang tengah mencari halte. Tapi dilihat dari pakaiannya yang kumal seperti yang kini kami pakai di sini, kami langsung menyangsikannya.

Pak tua bermata satu kemudian datang menyeruak di antara kami. 

“Orang sekarat lagi!” desisnya, dan segera menyuruh pemuda-pemuda membawanya ke tempat perlindungan kami. Tapi baru beberapa langkah saja menjauh dari halte, laki-laki itu menghembuskan napas terakhir,

“Apa sering terjadi seperti ini?” tanyaku.

Pak tua bermata satu hanya mengangguk lemah. “Mereka datang dengan bus lain, entah bus dari mana. Yang pasti bus itu hanya meninggalkan orang sekarat seperti ini. Kami tak tahu alasannya!”

Aku berkerut kening. “Kalau dibawa oleh bus, bagaimana bisa kita tak melihat kedatangannya? Bukankah selalu ada yang berjaga mengamati halte?”

“Kita hanya menunggu bus dengan jurusan untuk meninggalkan kota ini, tapi tidak dengan bus lainnya! Mungkin itulah mengapa kita tidak melihatnya.”

Aku terdiam. “Lalu... ke mana sebenarnya jurusan yang kita tunggu?” Ini sebenarnya adalah pertanyaan yang sudah mengendap di kepalaku sejak lama. Tapi tak pernah ada yang bisa menjawabnya dengan yakin. Beberapa hanya berkata ke tempat yang lebih baik. Tapi tempat lebih baik seperti apa?

Pak tua bermata satu hanya mengangkat bahu. “Entahlah. Ia hanya berhenti di halte ini, dan kita menaikinya. Hanya itu yang kita tahu.”
Aku diam, dan tak lagi bertanya apa-apa. Jawaban pak tua bermata satu seperti menyadarkanku tentang tujuanku menunggui halte ini. Semua tampak semu, tapi tak ada pilihan lain yang lebih baik, dari sekadar diam di kota ini kan?

Kejadian hari ini, ternyata tak selesai begitu saja. Selepas laki-laki sekarat itu dikuburkan, beberapa penghuni di tempat perlindungan tampak mendatangi pak tua dengan satu mata, Mereka tampak marah.

“Sudah bertahun-tahun kita menunggu! Tapi tetap tak ada bus yang berhenti di halte ini!” teriak salah satu dari mereka.

“Benar, habis waktu kita hanya untuk menunggu!” sambung yang lain.

“Halte itu malah tak henti mengirimkan orang-orang yang sekarat pada kita! Kau mungkin tak menghitungnya tapi aku sudah ikut mengubur 100 orang sekarat seperti tadi!”

“Bisa jadi mereka adalah orang-orang seperti kita, yang berangkat dari halte lainnya yang tak kita tahu ada di mana!”

Pak tua bermata satu mencoba menenangkan mereka, tapi kali ini tak bisa. Orang-orang itu telah begitu putus asa, mereka mengambil tongkat-tongkat besi yang ada, lalu bersama-sama menuju ke arah halte itu. 

Di sana mereka menghancurkan halte itu bersama-sama. Dengan pukulan-pukulan yang tak henti, halte itu pun roboh. Salah satu dari mereka bahkan kemudian mengeluarkan satu jeriken bensin.

Pak tua bermata satu dan beberapa orang lainnya termasuk diriku, berusaha menghentikan mereka. Tapi itu sia-sia belaka, karena jumlah mereka jauh lebih banyak. Jadi yang bisa dilakukan pak tua bermata satu hanyalah meratap, “Hentikan! Cuma ini harapan kita! Hentikan!”

Tapi orang-orang itu tak lagi peduli. Mereka membakar halte itu. 

***

AKU hanya diam melihat halte yang kini telah hancur.

Aku sebenarnya sangat marah pada orang-orang bodoh itu. Aku sempat merasa para pembakar halte itu adalah kelompok manusia paling laknat di sini, yang kemudian pergi begitu saja meninggalkan tempat ini, tanpa mengingat kebersamaan mereka selama bertahun-tahun di sini. Mereka seperti menghancurkan harapan banyak orang di sini. Tapi aku kemudian merasa... semua itu layak terjadi. Aku baru menunggu beberapa bulan di sini, dan aku mulai merasakan penantian semu atas halte itu. 

Tapi adikku kemudian bertanya cemas, “Kakak, apakah bus yang kita tunggu akan tetap datang di halte yang sudah hancur itu?” 

Aku diam tak bisa menjawab.

“Tentu akan datang,” pak tua bermata satu yang menjawab pertanyaan itu. “Mereka tentu belum tahu keadaan halte ini sekarang, jadi mereka akan tetap datang.”

Aku setuju saja dengan pendapat itu.

Kini yang pasti, malam terasa lebih mengerikan. Halte itu telah menjadi tempat paling mengerikan. Tak ada lagi bangunan yang terlihat, selain seonggok besi tua yang hancur dan terus tertutup asap hitam.

***

TAHUN  terus berjalan. Aku tak lagi ingat sudah beberapa tahun aku masih menunggu halte itu. Kini, adik kesayanganku telah sakit. Aku tak tahu apa yang dideritanya. Tubuhnya menjadi lemas, dan wajahnya memucat. Satu yang paling jelas: bibirnya semakin menghitam.   

“Kau harus merelakannya!” Seorang nenek yang selalu tidur di sebelah kami, bicara pelan padaku.

Pak tua bermata satu menambahkan, “Kau tahu, kita semua yang menunggu di sini, juga hanya menunggu seperti adikmu.”

Aku hanya bisa terdiam.

Di hari –entah yang keberapa– adikku menghembuskan napas terakhirnya. Kami menguburnya di pekuburan para penunggu yang telah meninggal sebelumnya. Selama ini, aku sudah puluhan kali membantu penguburan di sini, namun baru kali ini aku menyadari kalau ternyata pekuburan itu telah menjadi hamparan tanah penuh nisan yang begitu luas.

Saat memasukkan tubuh adikku ke dalam lubang kuburnya, baru kusadari adikku bukan lagi gadis kecil berumur 7 tahun. Ia telah menjadi gadis dewasa.

“Apa rencanamu?” tanya pak tua bermata satu.

“Entahlah.” Aku mengangkat bahu.

“Kau akan tetap menunggu bus di halte ini atau...” Pertanyaan pak tua bermata satu terdengar menggantung.

“Pesan terakhir ayah padaku hanya untuk membawa adikku pergi dari kota ini. Sekarang ia tak lagi ada...” Aku diam sejenak. “Mungkin... aku akan pulang saja.” 

“Apakah kau tak merasa sayang dengan waktumu yang telah kauhabiskan menunggu di sini bertahun-tahun?”

Aku diam. Ya, waktu yang terbuang itu seperti tak lagi ada harganya. Tapi, di masa-masa seperti ini, apalagi yang berharga?

Malam ini aku tidur dengan tak tenang. Sudah kukemasi barang-barangku yang tak seberapa. Aku siap untuk pulang keesokan harinya. Namun di tengah tidurku yang tak lelap itu, aku terjaga karena sebuah teriakan!

“Bus datang! Bus datang!” Suara seorang terdengar berkali-kali.

Aku terkejut. Mataku yang masih setengah tak sadar melihat bus berhenti di tempat di mana halte itu seharusnya berada. Bus berwarna putih tanpa tulisan apa-apa, sementara  kepulan asap memenuhi sekelilingnya.

Pintu bus itu kemudian terbuka...

Beberapa orang yang terbangun segera bergegas bangkit, tanpa memikirkan apa-apa lagi, mereka berlarian ke arah bus.

Aku masih diam sejenak.

“Ayo!” Pak tua bermata satu menarik tanganku.

Mau tak mau, aku mengikutinya. Aku naik ke dalam bus dan menemukan orang-orang berderet duduk di kursi-kursinya. Beberapa dengan pakaian kumal, namun yang pasti raut wajah mereka semua tampak sangat gembira.

Pintu bus kemudian tertutup. 

Bus mulai meninggalkan halte yang telah hancur itu...***


Yudhi Herwibowo, menulis cerpen dan novel. Buku terbarunya sebuah catatan perjalanan: Saya, KRI Dewaruci & Jalur Rempah (bukuKatta) dan novel  Toko Buku Abadi (Penerbit Baca), yang juga telah diterjemahkan di Malaysia. Tinggal di Solo, Jawa Tengah.




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.