CERPEN YUDITEHA

Jam Tiga Kurang Sepi

Cerpen Minggu, 11 Mei 2025 - 13:13 WIB | 421 klik
Jam Tiga Kurang Sepi

(EN.AC-ILLUST.COM)

APARTEMEN sewaan itu berdiri di tengah kota yang kehilangan musim. Kota ini tak lagi tahu caranya jadi dingin, dan malam hanya berarti jalanan lebih lengang dan lebih banyak orang mengeluh lapar. Lantai sembilan bangunan itu jadi semacam surga bagi mereka yang tak bisa tidur, karena lif yang sering rusak dan lampu lorongnya lebih cocok disebut remang dari neraka kecil.

Arie membuka mata pada pukul 02.50. Bukan karena mimpi buruk, bukan juga karena ada suara. Ia hanya merasa lapar. Seperti halnya kebanyakan keputusan diambil oleh orang kelaparan di tengah malam, ia merasa itu sangat rasional.

Dapur kecilnya bersih, terlalu bersih bahkan, seakan tak pernah terjadi sesuatu yang hangat di sana. Hanya sebuah kotak pendingin, kompor portable, dan microwave yang lebih sering dipakai untuk memanaskan ingatan masa lalu ketimbang makanan. Ia membuka kulkas seperti membuka rahasia negara. Di sana, duduklah sebiji onigiri.

Tuna mayo, tertulis rapi di label plastik bening. Dibeli kemarin sore, ketika ia masih percaya bahwa besok akan datang dengan cara yang wajar. Arie menatapnya, lalu menoleh ke jendela. Kota masih menyala, tentu saja, sebab kota tak punya alasan untuk tidur. Ia duduk di meja makan kecil yang juga berfungsi sebagai meja kerja, meja setrika, dan tempat meletakkan kunci yang sering hilang.

Ia membuka bungkus onigiri itu perlahan, seolah takut membangunkan seseorang. Jam digital di pojok dapur menyala merah lemah: 02.57. Arie memandangnya sebentar. Ada sesuatu yang aneh dari menit-menit sebelum angka genap.Waktu-waktu yang tak punya nama itu terasa seperti jeda napas panjang antara mimpi dan mimpi lain. Bukan pagi, bukan malam. Hanya sisa sepi yang belum sempat diberi alasan. Ia selalu merasa aneh saat terbangun pada jam-jam seperti ini. Rasanya seperti jadi satu-satunya orang yang tidak diajak Tuhan tidur.

Tapi di waktu seperti itu, semua keputusan terasa wajar. Bahkan untuk membuka onigiri sendirian di dapur yang dingin. Baru ketika gigitan pertama menyentuh lidah, Arie sadar ada sesuatu yang tidak biasa dari malam ini.

“Kau sadar kita tidak pernah bicara benar-benar jujur, ya?”

Suara itu membuatnya nyaris tersedak. Ia mendongak. Di depan meja makan, duduk seseorang yang wajahnya amat akrab.

“Nina?”

Perempuan itu tersenyum, memakai kaos kelabu milik Arie yang dulu hilang entah di binatu atau di pertengkaran terakhir mereka. Rambutnya digelung asal-asalan. Ia tampak seperti kenangan yang lupa pulang. “Masih suka tuna mayo, ya?”

Arie diam. Ia belum cukup gila untuk merasa ini nyata, tapi juga belum cukup waras untuk menyangkalnya. “Ini cuma mimpi, kan?”

Nina mendengus. “Selalu begitu. Kalau kau suka sesuatu, pasti kau bilang itu cuma mimpi. Kalau kau takut, kau bilang itu mimpi buruk. Kenapa tak pernah kau bilang saja, ini hidupmu?”

Arie menelan sisa gigitan dengan tergesa. Rasa amis dan asin membanjiri lidahnya. Ia merasa bersalah, entah karena tuna, entah karena Nina. “Kau datang hanya untuk mengataiku?”

“Tidak. Aku datang untuk mengingatkan. Tentang malam itu.”

Malam itu. Malam ketika Arie tak pulang. Ketika ia memilih kantor ketimbang Nina yang sudah menyiapkan nasi dan cerita. Ketika ia bilang, “Aku capek,” padahal yang lelah bukan tubuhnya, tapi empatinya.

“Kau tahu,” kata Nina sambil membuka lemari dapur yang entah sejak kapan penuh isi, “Aku juga suka tuna mayo. Tapi aku tak pernah bilang ke kamu. Sebab setiap kali aku beli, kamu selalu mengambilnya.”

“Aku nggak ingat.”

“Tentu tidak. Orang lapar tak pernah ingat apa-apa selain dirinya sendiri.”

Kulkas mengeluarkan bunyi pelan, seolah ikut kesal.

Arie mengusap wajah. Hujan turun di luar jendela. Atau mungkin itu cuma uap pendingin yang lupa cara kerja. Ia berdiri, berjalan ke arah jendela, dan melihat pantulan dirinya sendiri, lelah, tanpa rencana, dan kini ditemani hantu mantan. “Jadi apa? Kau mau aku minta maaf?”

Nina tersenyum, kali ini lebih dingin dari udara kamar. “Tidak. Aku hanya ingin melihat, apakah kamu bisa menikmati sesuatu tanpa merusaknya.”

Mereka terdiam. Jam dinding berdetak pelan, seperti detak jantung orang yang tak lagi punya alasan untuk marah. Arie menoleh ke meja. Onigirinya tinggal setengah. Tangan Nina kini sibuk memutar sendok kecil di dalam gelas kosong.

“Aku rindu,” kata Arie akhirnya.

“Rindu tak cukup. Sama seperti lapar. Kau pikir rasa itu akan menyelamatkanmu?”

“Lalu apa?”

Nina bangkit. Suaranya pelan tapi menusuk. “Berhenti menganggap semua ini sebagai sesuatu yang bisa kamu atur. Hidup bukan microwave, Arie. Tak semua bisa dipanaskan kembali dan rasanya tetap sama.”

Nina berjalan ke arah pintu. Arie panik.

“Nina, jangan!”

Namun pintu tak terbuka. Ia menghilang begitu saja, seperti embun di kaca belakang mobil. Arie terduduk. Ia tak tahu apakah harus merasa sedih atau kenyang. Ia menatap onigiri yang masih tersisa, lalu menggigitnya pelan. Rasa tuna dan mayo membanjiri lidahnya lagi. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Ada pahit di sela-sela itu, seperti ingatan yang tak pernah benar-benar pergi.

Pagi datang seperti pembantu rumah tangga yang tak diundang: membuka jendela terlalu lebar dan membuat semua bau semalam keluar begitu saja. Arie terbangun dengan kepala berat. Di meja, bungkus onigiri terbuka. Tak ada setengahnya tersisa. Tangan kirinya lengket. Ia menjilatnya pelan, merasa asin.

Ponselnya berbunyi. Pesan dari Sari, rekan kerja yang kadang genit, kadang mengganggu. Eh, semalam kamu ngigau di kantor. Katanya onigiri kamu hilang, terus kamu nuduh Nina. Siapa tuh Nina?

Arie memandang layar ponsel, lama. Kemudian menutupnya. Ia berdiri, berjalan ke kulkas. Tak ada apa-apa di dalamnya. Hanya satu botol air minum dan sepotong catatan yang entah ditulis kapan: Jangan terlalu cepat menghabiskan sesuatu hanya karena kamu lapar.

Tangannya gemetar. Ia merobek kertas itu, lalu melempar ke tempat sampah. Tapi lemparannya meleset, dan kertas itu justru jatuh ke lantai, dekat kaki pintu. Ia membuka pintu perlahan.

Jam dinding menunjuk angka 02.59. Satu menit menuju hal yang tidak ia mengerti. Ia merasa seakan ada seseorang, atau sesuatu yang sengaja meletakkan semuanya dalam hitungan menit-menit terakhir. Bukan tengah malam, bukan dini hari. Tapi tepat di antara, ketika dunia terlalu lelah untuk bicara dan terlalu malas untuk mendengar.

Mungkin memang ada jenis sepi yang hanya lahir ketika jam nyaris tiga, dan tak ada yang benar-benar bangun kecuali rasa lapar yang tak punya tujuan. Di depan pintu, tergeletak sebungkus onigiri. Masih utuh. Labelnya tertulis: Tuna Mayo. Dan tulisan kecil di bawahnya: Terakhir. Arie tersenyum. Ia mengambil onigiri itu, memandanginya lama, lalu tanpa alasan jelas, meletakkannya kembali. Ia kembali tidur. Di dapur, microwave menyala sendiri.***

 

Yuditeha adalah seorang penulis. Menulis novel dan cerpen, juga genre lain. Pendiri Komunitas Kamar Kata. Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2023, Istri Sempurna. Tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah. Instagram: @yuditeha2

 

 




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.