CERPEN MAHRUS PRIHANY

​​​​​​​Dia Memutuskan Ingin Jadi Sastrawan

Cerpen Minggu, 18 Mei 2025 - 15:21 WIB | 391 klik
​​​​​​​Dia Memutuskan Ingin Jadi Sastrawan

THEANTLANTIC.COM

UCAPAN yang terasa spontan namun penuh rasa optimis yang Diko lontarkan itu membuatku terhenyak. Aku diam saja, tak memberi tanggapan, mengharap ia mengucapkan hal lebih banyak lagi untuk memastikan kesungguhan ucapannya tersebut.

“Aku ingin jadi sastrawan,” katanya lagi.

Baca Juga : Pasar Janda

Aku masih diam. Suasana dalam ruangan begitu hening. Hampir semua pegawai telah pulang kantor. Hanya terlihat dua orang di meja yang terletak agak jauh masih bertahan, sepertinya mereka sedang mengerjakan laporan bulanan yang harus segera dikumpulkan kepada atasan hari ini juga. Ini adalah tanggal tutup buku.

“Aku ingin jadi sastrawan. Aku sungguh-sungguh, Don,” ucapnya dengan suara lebih keras dan tegas.

“Ya, bisa saja kan. Selama ini aku lihat engkau banyak membaca buku sastra.” Sepertinya ini saatnya aku menanggapi perkataan Diko karena ia telah mengucapkan kalimat itu tiga kali dan juga seakan menunggu reaksi dariku.

“Ya. Mungkin ini hari terakhir kita bersama di kantor ini,” ucapan itu sungguh membuatku makin terkejut.

“Maksudmu?”

“Aku telah mengajukan surat pengunduran diriku. Tadi aku sudah berpamitan pada bos.”

“Kau serius bicara itu, Dik?’

“Iya, aku sungguh-sungguh.”

“Tapi kenapa begitu tiba-tiba? Kau tak pernah sebelumnya bercerita padaku, Dik.”

“Aku sudah mengajukan surat pengunduran diri sebelumnya. Sebenarnya aku juga telah memberi sinyal-sinyal itu padamu, Don.”

“Aku belum paham dengan apa yang kau maksud.”

“Hmmm... coba kau ingat dan renungkan. Beberapa bulan, bahkan mungkin hampir satu tahun aku sering berkata padamu bahwa aku merasa tidak bisa berekspresi bebas di kantor ini.”

Aku mulai mengingat-ingat semua peristiwa yang berkaitan dengan Diko. Dia memang sering mengalami gesekan dengan atasan kami. Dia berani mengungkapkan apa yang menjadi gagasan atau keberatannya terhadap kebijakan kantor. Banyak kami hanya diam terhadap semua keputusan sekalipun itu memberatkan, tapi di belakang itu kami membicarakan di antara sesama pegawai sambil melontarkan keberatan dan kekesalan.

“Iya. Aku mulai paham. Tapi bukankah itu hal wajar bahwa kita harus patuh pada kebijakan kantor. Kita bukan penentu kebijakan di sini.”

“Ya. Aku juga mengerti itu. Itulah kenapa aku mengundurkan diri.”

“Akan sama saja jika kau bekerja di tempat lain, Dik.”

“Makanya aku memutuskan ingin jadi sastrawan.”

Ucapan Diko itu masih membingungkan diriku. Tapi itulah dia. Diko memang seorang dengan banyak ide dan sangat imajinatif. Ia sering melontarkan gagasannya saat rapat-rapat kantor. Aku ingat ia pernah mengusulkan agar pegawai bisa pulang lebih cepat, tidak harus menunggu jam pulang kantor, pukul empat sore. Tentu usulan itu langsung ditolak mentah-mentah oleh atasan kami.

“Produktivitas kerja lebih penting dibanding kuantitas jam kerja. Toh banyak pegawai hanya menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan selepas makan siang,” tegas Diko.

Dia memberi contoh banyak pegawai yang hanya menghabiskan waktu untuk bergosip, ada yang hanya merokok dan berbincang di kantin berjam-jam, ada juga yang hanya tiduran terlebih jika atasan sedang keluar entah untuk urusan apa. Ucapan Diko itu sempat membuat atasan kami marah-marah.

“Semua institusi memiliki aturan yang jelas,” tegas  bos dengan nada emosi.

Diko ingin membantah lagi namun atasan kami memberi isyarat dengan mengangkat tangan kanannya sambil merapatkan lima jarinya, mengarah ke atas persis seorang polisi sedang memberhentikan kendaraan, tanda agar Diko tak berbicara lagi.

Imbas dari usulan Diko tersebut adalah atasan kami kemudian sering memberi pekerjaan tambahan. Diko sebenarnya tak mempermasalahkan, namun banyak pegawai lain menggerutu di belakang. Beberapa pegawai lain menyalahkan Diko. Namun Diko berbicara tegas bahwa dia telah menjelaskan usulan dan alasannya secara rasional. Dia juga memiliki solusi atas gagasannya itu, tapi atasan tak memberikan kesempatan untuk berbicara lagi. Banyak pegawai kemudian merasa malas dan segan berdebat dengan Diko. Lelaki itu memang akan berusaha mempertahankan pendapatnya tanpa merasa sungkan dengan siapa dia berhadapan baik teman atau atasan.

Diko baru bersuara lagi pada rapat berikutnya dengan tegas. Sungguh itu membuat telinga bos panas. Dia mengajukan keberatan karena pekerjaan tambahan tersebut tidak ada hubungannya dengan tugas dan pekerjaan kamu. Itu semua dilakukan hanya untuk menunggu jam pulang pada pukul empat sore. Bos tak mau tahu. “Ini instruksi. Bagi yang merasa keberatan, silakan keluar dari kantor ini,” jawabnya.

Kantor kami adalah kantor milik pemerintah. Kebanyakan pegawai –meski jumlahnya tak banyak– berstatus ASN dan sebagian lagi tenaga honorer atau kontrak. Kantor kami tentu juga berhubungan dengan dinas-dinas terkait. Di mata Diko yang visioner dan memiliki mobilitas tinggi, dia merasa tak cocok padahal banyak pegawai merasa nyaman bekerja di sini.

“Jadi apa alasan utamamu mengundurkan diri?” Aku ingin mempertegas jawaban Diko.

“Banyak hal. Tapi intinya aku ingin melakukan perubahan,” ujarnya.

Jawaban yang masih terasa mengambang bagiku.

Apakah dengan menjadi sastrawan kau bisa melakukan perubahan?”

Diko hanya melemparkan senyuman.

“Bagaimana sastrawan bisa melakukan perubahan?” tanyaku ulang.

“Bisa. Kau belum mengenal banyak tentang sastra dan sastrawan.”

“Justru itu aku bertanya padamu, Dik. Pertama, sastra bukan semata fiksi. Imajinasi juga bukan sesuatu yang tak terukur. Justru imajinasi itu sangat luas, tak terbatas, namun memiliki konsep yang sangat jelas. Sastra bukan semata gerakan literasi, namun itu juga gerakan rasionalitas.”

 “Nalarku tak sampai dengan segala penjelasanmu. Coba jawab saja sederhana, perubahan apa yang bisa dilakukan sastrawan?”

“Banyak literatur yang telah menjelaskan dan membuktikan itu.”

“Bisa kau sebutkan contohnya?”

“Kau belum mengenal Pablo Neruda, Jose Rizal, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, atau Rendra?

Diko menjelaskan kiprah mereka dan aku masih belum mampu mencerna arahnya.

 “Kau terlalu muluk menurutku, Dik.”

“Yang kusebutkan dan kuceritakan itu hanya contoh umum dan besar. Mereka sesungguhnya nama-nama mentereng yang seharusnya sudah dipahami banyak orang termasuk dirimu, Don.”

“Berarti banyak contoh lebih spesifik tentang sastrawan dan perubahan.”

"Oh iya, jelas. Lain waktu aku bisa menjelaskan padamu secara detail.”

“Tapi pada kenyataannya, aku tak melihat sastrawan bisa melakukan perubahan, bahkan dalam kehidupan mereka sendiri.”

“Aku rasa kau juga belum paham dengan makna perubahan.”

“Kau tak realistis, begitu juga dengan contoh-contoh yang kau sebutkan, Dik.”

“Jangankan kau, Don. Banyak mereka yang mengaku sastrawan saja tak realistis dan jauh dari realitas. Mereka gagal paham memahami apa itu sastra.”

“Ya ya. Itu karena aku memang tak paham sastra.”

“Nah lebih baik kau tak mendebatnya.”

“Baik. Pertanyaanku selanjutnya, mengapa banyak sastrawan tak realistis dan jauh dari realitas seperti katamu tadi?”

“Itu karena mereka tak memiliki konsep dan standar yang jelas.”

“Bagaimana bisa begitu?”

“Mereka gagal paham sejak awal tentang apa itu literasi, imajinasi, dan teori-teori yang bersandar pada pendekatan ilmiah.”

"Jadi pendek kata, sastra itu ilmu pengetahuan dan banyak sastrawan tak memiliki kompetensi itu, begitukah?”

“Ya. Dengan itu sastra dibangun dan itu akan membawa pada kemajuan, perubahan, dan tentu saja karya sastra yang lahir adalah pembelajaran bagi masyarakat dan dunia. Sastra adalah peradaban.

“Menurutku kau terlalu idealis. Bukankah karya sastra adalah hiburan?”

“Kalau sastra sekadar hiburan, kau bisa nongkrong atau pergi rekreasi, Don.”

“Aku hanya berbicara fakta, Dik.”

“Sudah lewat jam pulang dari tadi,” Diko berkata sambil beranjak.

Aku ikut bangkit meninggalkan kantor mengikuti langkahnya. Masih ada beberapa pertanyaan yang ingin kusampaikan padanya, namun memang situasi tak memungkinkan.

***

ESOK harinya, aku memang tak melihat lagi Diko di kantor. Aku bertanya pada atasan, bos menjelaskan bahwa Diko telah mengundurkan diri. Diko adalah tenaga honorer di kantor kami, jadi dia bisa mengundurkan diri dengan proses yang tak serumit pegawai lainnya. Tambahan lagi, dia memang telah mengajukan surat pengunduran diri beberapa waktu sebelumnya dan telah mendapat persetujuan.

Aku merenungkan kembali kiprah Diko selama ini juga pembicaraan terakhir kemarin dengannya. Seingatku Diko baru dua tahun bergabung di kantor kami. Selama dua tahun tersebut dia banyak berinteraksi denganku, meski sebenarnya dia juga dekat dengan banyak pegawai lain. Pembawaannya sangat supel namun dia seorang yang kritis dan sangat memegang teguh prinsip. Itulah dia terkadang frontal berbicara pada rapat-rapat atau forum. Dia bisa berdebat keras namun setelah rapat selesai tak bicara lagi soal materi rapat. Dia akan kembali dengan gayanya yang hangat dan supel, juga dengan cerita-ceritanya yang imajinatif.

Sebelumnya dia juga telah beberapa kali bekerja di tempat lain, tapi memang tak pernah bertahan lama. Dia pernah bercerita bahwa dua tahun itu waktu yang bisa dikategorikan sangat lama untuk bekerja di suatu institusi.

“Kau sudah bisa melihat nasibmu dalam waktu tiga bulan saja atau bahkan lebih singkat dari itu, tak perlu menunggu dua tahun,” katanya suatu ketika padaku.

“Semua orang yang ingin maju butuh proses, Dik,” sergahku.

“Itu bukan proses, tapi ritual. Katakanlah rutinitas saja.”

“Bukankah itu memang tugas utama kita sebagai seorang pegawai.”

“Nah itu tepat. Itulah makanya aku tak bisa lama-lama.”

“Kau memang tak cocok jadi pegawai atau karyawan, Dik.”

"Kau betul. Itulah kenapa aku sedang memikirkan profesi lain.”

Setelah mengingat-ingat segala pembicaraanku dengan Diko, juga kebiasaannya di kantor saat jam istirahat dan waktu luang misalnya, aku jadi menduga-duga kenapa dia memutuskan ingin jadi sastrawan. Diko memang sering membaca buku sastra baik teori dan kritik sastra juga karya sastra seperti novel, cerpen, dan puisi.

Meski tak paham sastra, tapi sungguh aku merasa aneh dengan keputusan Diko. Setahuku, menjadi sastrawan itu hanya hobi, bukan pekerjaan. Bagaimana dia akan menghidupi dirinya dan keluarganya jika menjadi sastrawan. Tapi sudahlah, itu urusannya, bukan urusanku. Keyakinanku hanya memberi jawaban, dengan menjadi sastrawan, Diko bisa mengatur dan menentukan segalanya. Dia yang menentukan cerita dan nasib-nasib orang di dalamnya. Segala ide besarnya akan terwujud di sana.

Kini aku serasa tak sabar menanti karyanya yang berisi konsep dan gagasan besarnya. Ya, aku sungguh ingin membaca imajinasi seorang Bardiko Maulana Zola.***

Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Kepala Sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan redaktur pelaksana portal sastra litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa cetak dan daring, seperti Suara Merdeka, Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Post, Bangka Pos, Solopos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, Pos Bali, Koran Merapi, Utusan Borneo, Singgalang, Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspres, Magelang Ekspres, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa Medan, dll.  Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021), Di Way Kulur, Tak Ada Lagi yang Kucari (2022), dan Lelaki Tua dengan Surga di Bibirnya (2023).

 

 

 




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.