CERPEN NAFIAH AL-MARAB

Kematian di Tepi Laut

Cerpen Minggu, 25 Mei 2025 - 12:57 WIB | 809 klik
Kematian di Tepi Laut

EBAY.COM.AU

AKU bahkan tidak pernah berpikir, pada akhirnya akan menjadi salah satu dari pemuda-pemuda yang bersahabat dengan perahu-perahu di tepi laut. Tepi laut yang mengantarkan aku pada kematian.

Sepertinya tidak ada lagi harapan di sana. Sebuah kampung di daerah terluar Indragiri. Orang-orangnya adalah orang laut sepertiku, langitnya muram, mataharinya seperti berhenti bercahaya. Hanya menyisakan marun tanpa panas yang membuat orang-orang tua di perahu itu terpakas hidup dari menyalakan mesin setiap hari untuk melaut. Aku terjebak, mungkin begitu. Tidak ada pilihan lain, tawaran yang datang hanyalah dari mulut  Tuan Tsu dua bulan lalu. Dia yang langsung memintaku menjadi pengemudi perahunya yang sudah rapuh. Di tepi laut perahu itu hanya terjemur dari pagi hingga petang. Udang-udang telah berkurang. Airnya seperti abun-abun di mata pemuda-pemuda kampung. Mereka mengkhayal jaring-jaring akan penuh lagi dengan udang, tetapi hanya sebatas benang-benang nilon putih yang patah-patah. Udang dan ikan-ikan ke mana? Mungkin saja sudah habis, begitu kata orang-orang tua setiap hari.

Baca Juga : Pasar Janda

Aku Labbaik. Tinggal di tepian kampung yang terapung di air. Melaut bukan keinginanku, sebab sejak kecil aku sudah begini. Aku bosan dengan laut. Setamat sekolah di kampung ini cita-citaku menuju Tembilan. Kuliah di Jurusan Teknik, dan kelak aku ingin punya perahu mesin yang mahal untuk angkutan ke kampung ini. Aku ingin kaya dengan cara yang berbeda. Buat apa aku melaut lagi, lelah. Tuan Tsu adalah guruku di tepi laut. Dia yang memesankan padaku di Kuala Selat ini nelayan-nelayan sudah hampir mati. Di perairan sungai hanya ada sampah yang timbul tenggelam. Jika ingin melaut harus sabar, sebab minyak perahu begitu mahal. Sementara udang dan ikan nyaris tak ada. Jadi sebaiknya berhentilah jadi pelaut.

Mulanya aku berpikir Tuan Tsu seperti jahat sekali. Ia menghapus mimpi-mimpi anak kampung sepertiku. Apa ia juga bekerja sama dengan toke-toke di pulau seberang itu yang menghabisi hasil laut kami? Oh, ternyata tidak. Tuan Tsu jujur, ia berkata apa adanya. Petang hari orang-orang kampung akan berkumpul di perahu-perahu mereka, di tengah kampung air ini. Mereka berbincang jika laut di sini sudah benar-benar seperti mati. Apa pasal? Aku coba mendengar selintas lalu perbincangan orang-orang tua. Mereka tak jelas bicaranya, bergumam  dan tak berani berkata-kata soal laut. Mereka hanya bilang telah mati dan telah mati. Aku pun diam. Tekadku kembali satu, aku ingin ke Tembilahan saja untuk kuliah. Aku tak mau jadi buruh laut seperti pemuda-pemuda kampung lainnya.

Namun, sial. Benar-benar nasibku jauh dari kata beruntung. Selepas penerimaan ijazah kelulusan, ibuku bilang perahu di rumah rusak parah. Tidak bisa lagi dipakai melaut. Uang untuk lanjut kuliah ke Tembilahan pun tak ada. Selanjutnya mimpiku seketika hancur. Wajah Tuan Tsu dengan senyumnya yang datang di pagi hari memesankan aku untuk melaut saja.

“Tidak ada pilihan, sekarang ini kau melaut saja dulu ya,” katanya menghapus mimpiku menikmati Kota Tembilahan dan hiruk pikuk keindahan taplaunya. Kata-kata itu bentuk kepedulian orang kampung pada pemudanya. Labbaik, sejak itulah kau harus mulai melaut.

“Tapi aku hanya akan tua di tepi laut, apa aku akan dapat uang?”

Lelaki itu malah tertawa. Aku benci. Mereka tertawa, seperti telah menemukan cara untuk kaya, omong kosong. Seminggu kemudian aku melaut mengikuti Tuan Tsu. Pesisir ini dulunya dikenal dengan udang-udang yang besar dan lezat. Dulu sekali, di sini menikmati udang cukup di depan pintu rumah. Protein itu melompat-lompat saja di tepian tangga rumah warga. Namun, itukan cerita dulu. Sekarang aku hampir mati berhari-hari di tengah laut mencari udang yang benar-benar lezat. Tak ada lagi. Kampung ini mulai lengang. Perahu-perahu mulai banyak yang rusak dan hanya diparkirkan di kolong-kolong rumah panggung. Seperti kematian di kampung laut. Labbaik, aku yang sejak kecil tinggal di lautan ini pun tak pernah mengerti dengan segala yang terjadi.

Apa bagusnya melaut? Sejak dulu, nenek moyangmu sudah melaut, tetapi kau begitu-begitu saja. Cobalah lihat ke seberang pulau sana. Mereka bisa kaya dengan berkebun sawit, bukan melaut. Mulailah buka matamu. Ada orang-orang yang bilang begitu, tetapi aku tak tahu dan tak mencoba ingin tahu. Bagaimana aku bisa keluar dari kampung ini menuju Tembilahan, itupun aku belum mampu. Tuan Tsu telah memastikan bahwa aku benar-benar akan hidup saja di tepi laut. Menjadi pelaut, seperti orang-orang tua di kampung ini. Aku sedikit kesal, tetapi ya sudahlah.

“Rumah-rumah mereka sudah hilang,” Tuan Tsu memandang air laut yang jernih kecoklatan. Tidak terlihat apa pun di dalamnya.

“Siapa yang mengambilnya?”

“Jangan bertanya itu,”

“Kenapa Tuan?”

“Kau bocah, sudahlah melaut sajalah kau!”

Tuan Tsu mendadak emosi. Aku tentu saja geram dan heran. Kenapa ia marah padaku padahal nasib kami sama-sama akan mati. Di tepi laut itu wajahku semakin merah. Dahiku menghitam dan rambutku semakin pirang. Kuperhatikan kulitku semakin kelam. Sedangkan ikan-ikan dan udang-udang semakin jarang kutemukan. Aku kesal. Mimpiku untuk mencari pendidikan di Tembilahan telah musnah dari pikiran. Lalu aku berpikir, apakah aku benar-benar akan mati di tepi laut ini?

**

SEBENARNYA aku tak begitu peduli menyaksikan kapal-kapal yang datang dari Guntung menuju Kuala Selat. Biasanya perahu-perahu itu akan berputar-putar di perairan kampung. Perempuan-perempuan di rumah panggung tepian sungai akan mengintip. Mereka berpikir anak atau suami mereka yang pulang dari Guntung. Di Guntung itulah kehidupan. Orang-orang menjual ikan dan udang dari Kuala Selat menuju ke pulau tepian pelabuhan . Jika anak atau suami mereka pulang, pintu rumah dibukakan. Tangga-tangga papan dibersihkan. Mereka menghitung uang di teras rumah yang bawahnya air sungai. Mereka berbincang-bincang, saling memanggil tetangga-tetangga rumahnya. Demikian gembiranya perempuan-perempuan kampung itu.

Aku tidak peduli itu. Bagiku lelah menebar jaring di lautan sudah lebih sulit untuk dipikirkan. Bila telah sampai di rumah aku memilih tidur saja. Aku tak akan duduk-duduk di tepi rumah untuk menyaksikan perahu-perahu yang melintas. Namun, entah mengapa petang itu aku memilih bersandar di tepi jendela rumah yang menghadap ke perairan kampung. Aku tertarik memandang sebuah perahu panjang dengan tumpukan kayu bakau yang meninggi. Batangnya besar dan masih hijau. Aku kenal pemuda yang membawa perahu itu. Ia menghentikan perahunya di sebuah kapal besar yang sudah sejak tadi siang parkir di tengah kampung. Seorang pemuda menyambutnya, mengangkat batang-batang bakau itu ke atas perahu besar.

Ternyata di atas perahu besar itu sudah ada tumpukan kayu-kayu bakau yang lain. Ada yang masih hijau ada pula yang sudah kering. Pemuda di atas kapal besar itu memberikan sejumlah uang kepada pemuda yang mengantarkan bakau. Lembaran itu banyak sekali, aku berdecak heran. Kayu-kayu itu satu perahu, tetapi uangnya melebihi yang kuperoleh bekerja dalam satu bulan. Aku ternganga. Kulihat lagi di ujung perairan sana, ternyata masih ada beberapa deretan perahu lainnya yang membawa kayu itu menuju ke perahu besar. Pemuda-pemuda kampung itu senang sekali menerima lembaran-lembaran uang merah. Mereka tertawa-tawa dan cepat-cepat naik ke daratan.

***

AKU  menanyakannya pada Tuan Tsu, tentang lelaki dan kayu-kayu dalam perahu itu. Enak sekali mereka mencari uang, aku ingin tahu. Tuan Tsu merah wajahnya saat aku mulai menanyakannya.

“Kenapa kau ingin tahu? Kau mau dapat uang begitu?”

“Bagaimana caranya?” aku pura-pura bertanya.

“Ya kau harus ikut mereka.”

“Ke mana?”

“Jalan menuju ke Guntung, atau simpang-simpang menuju ke sana. Di sana kau masih bisa banyak mendapatkan bakau.”

“Gila!”

“Kenapa?”

“Guruku bilang tak boleh.”

“Gurumu kolot, memangnya dia punya kekayaan apa?”

“Tidak ada, dia masih tetap guru PNS yang miskin.”

“Itulah, kolot.”

“Tapi itu tidak boleh, Tuan Tsu!”

“Anak kecil sok tahu!”

“Aku memang tidak tahu apa-apa.”

“Bagus. Cuma ada dua tawaran untukmu, tetap melaut atau ikut mencari bakau? Jangan berisik. Ikuti saja kehidupanmu yang ada.”

“Apa Tuan Tsu juga mencari bakau?”

“Tentu saja.”

“Ya, Tuhan. Aku tidak tahu itu.”

“Aku memberikan perahu-perahu untuk pemuda kampung. Mereka membayarku.”

"Oh, patutlah Tuan Tsu tetap banyak uang.”

“Sudah kubilang, kalau kau tetap jadi nelayan di sini, kau akan mati.”

Apa aku akan mati? Tidak, aku tidak mau mati di kampung ini. Tapi siapa yang menyangka kita akan benar-benar mati dan siapa yang lebih dulu mati? Tidak ada yang tahu. Tuhan saja yang Maha Tahu.

***

KEMATIAN telah datang, bukan untuk satu orang, tetapi ribuan orang di kampung ini. Di suatu pagi seorang warga kampung datang ke Pak Wali. Ia mengabarkan peristiwa aneh yang membuat orang-orang melongo. Kematian itu tak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Mereka menyebutnya peristiwa alam, tetapi itu bencana di tepi laut yang akan membuat orang-orang mati.

“Pucuk, pohon-pohon kelapa itu mengalami pucuk. Semua buah dan daunnya rontok, hanya batang-batangnya yang tersisa. Ribuan hektare kelapa itu mati,” warga itu tertunduk.

“Tiba-tiba?”

“Tidak, sudah hampir sebulan, tetapi warga baru menyadarinya. Abrasi terjadi karena bakau-bakau itu tak ada lagi. Air laut menggenangi kebun berbulan-bulan. Mereka tidak tahu itu bencana kita.”

“Mata mereka tertutup uang, enyahlah!”

Wak Wali marah-marah. Ia memaki pemuda-pemuda kampung. Aku terbengong saja sebab merasa tak pernah menikmati uang-uang penjualan kayu terlarang itu. Tuan Tsu diam ketakutan. Ia terlihat lugu, tetapi ternyata perahu terbanyak yang membawa kayu terlarang ke toke seberang itu adalah miliknya.

Bagaimana Tuan, apakah besok sebaiknya kita melaut lagi? Sama sajakan? Kematian di laut atau di tengah perkebunan itu? Aku sama-sama tidak mengerti dan kita sama-sama mati.” Aku tertawa melihat lelaki itu. Wajahnya memerah. Sesekali aku menjadi pemuda yang lancang mencandainya. Tuan Tsu, dia yang membunuh kehidupan orang-orang kampung. Kematian di tepi laut telah tiba.***

 

Nafiah al-Marab tinggal di Pekanbaru. Menulis cerpen di Harian Kompas, Riau Pos, Lampung Post, Batam Pos, Magrib.id, Padang Ekspres, dan lainnya. Tahun 2020 terpilih sebagai cerpenis pilihan Balai Bahasa Provinsi Riau. Kumpulan cerpen terbarunya berjudul Akasia (2024) memuat cerpen-cerpen lingkungan terbaik yang pernah ditulisnya. Selain cerpen, ia juga menulis novel, puisi, cerita anak, esai, dan artikel marketing.

 

 

 




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.