CERPEN POLANCO S ACHRI

Sebuah Surat yang Kutemukan di Laci Meja Kakak dari Seorang Penyair yang Tak Menjadi Kakak Ipar

Cerpen Minggu, 01 Juni 2025 - 14:57 WIB | 1342 klik
Sebuah Surat yang Kutemukan di Laci Meja Kakak dari Seorang Penyair yang Tak Menjadi Kakak Ipar

(KMBERGGREN.COM)

Gadisku...

Saat tiba suratku, kuharap hatimu tak diliputi duka dan pilu, tak diselimuti kesedihan yang membawa dingin dan juga beku. Akan tetapi, andai saat menerima suratku kau alami duka-sedih itu, sungguh kuharapkan semoga kedatangan surat ini membuat itu semua sirna dan reda, meski terlampau ajaib rasanya. Seperti yang kau tahu, tengah kuupayakan studi lanjutku agar lekas lulus tepat waktu, menabung, dan lekas melamarmu; membawamu ke kota ini, kota yang melahirkan banyak puisi dan karya seni tapi terlampau samar guna dimiliki.

Baca Juga : Pasar Janda

an seperti yang kau tahu, seperti surat-surat yang lalu, betapa pelik pembelajaran di kampus utara yang terlampau. Ah, pengajar-pengajar itu terlampau memuja teori-teori, teori dari manca lagi. Akan tetapi, tak juga hendak kupungkiri bahwa tak genap bisa mengkaji karya seni, sastra dalam hal ini, tanpa teori. Asumsi-asumi atas sesuatu adalah cikal bakal teori, kan? Meski seperti yang kau tahu, aku ingin sekali berkata pada pengajar-pengajar itu, keintiman dengan karya adalah utama dan mula. Bagaimana bisa kita timbang bila terkekang teori yang mengekang? Ah, andai sejarah sastra kita kokoh dan tertulis dengan rapi, pastilah soalan ini tidak terlampau pelik…

Belakangan, kau tahu, kawan-kawanku mulai menyebutku sebagai kritikus muda; dan itu begitu menyebalkan, sebab seperti yang kau tahu, aku lebih ingin jadi seniman, lebih ingin jadi penyair-pengarang. Betapa kawan-kawanku terlalu suka tergesa pada pengangkatan-pengangkatan. Hanya karena esai-esai liris yang agak naratif itu menyoal ilmu sastra, mereka lekas melabeliku kritikus. Bagiku, kritikus adalah mereka yang menulis kritik, yang menunjukkan baik-buruknya karya, serta tahu konstelasi sejarah sastranya. Sebab ucapan-ucapan itu, mereka pun memintaku turut lomba kritik sastra yang diselanggarakan dewan kesenian ibu kota.

Kutahu, dalam hal ini, kau akan seperti ibuku, dan berkata dengan mantapnya: “Ikutlah, Mas.” Betapa, kau dan ibuku punya terlampau banyak kemiripan: terampil menumbuhkan pengharapan dan keyakinan. Ah, hadiah lomba itu bisa pula kupakai meminangmu: menyematkan cincin di jari manismu, mengalungkan emas di putih lehermu, dan menghias sepasang mungil telingamu yang begitu terampil mendengar. Akan tetapi, siapa pula yang bisa menjamin kemenangan? Pengharapan itu bagus; tapi sungguh aku tak ingin pula menyakitimu dengan pengharapan—dan karenanya, bila datang lelaki yang lebih baik dariku, dalam apa pun, terimalah dia. Dan kuharap soal yang barusan tak membuatmu benci dan menaruh sebal. Sungguh, aku mencintaimu; dan akan tetap begitu.

Lalu, saat kulihat soalan yang ditawarkan dewan kesenian itu, betapa aku jadi menimbang lagi: betapa asing dan berjarak aku dengan AA Navis. Meski begitu, tak dapat pula kupungkiri, ia salah satu jembatanku masuk dunia sastra. Tidakkah di sekolah menengah kau membaca cerpennya—sebagai bagian dari soalan bahasa guna ujian kelulusan, “Robohnya Surau Kami”?

Betapa tak banyak karyanya yang kubaca, hanya beberapa cerpen dan sebuah novel; dan novel yang kubaca agaknya tak genap dikenal dan ramai diperbincangkan. Adapun judulnya: Saraswati. Novel itu bercerita tentang gadis tuli. Bacalah, betapa kau kan masuk ke suatu sunyi yang membuatmu simpati dan berempati pada orang-orang yang tuli; semacam, kau akan jadi dan merasai seperti Saraswati. Bila kau mau, balaslah suratku nanti; dan akan kupaketkan novel itu pada kiriman selanjutnya. Ya, memang lebih kukenal Navis sebagai penulis cerita pendek dan novelis. Betapa, catatan-catatan kebudayaannya tak genap kubaca.

Dan tidakkah konyol, bila aku bergaya mengkritiknya?

Seperti yang kau tahu, belakangan aku lebih sering membuat catatan seni rupa dan teater; meski tetap kutulis puisi—dan akan tetap menulis puisi. Bagaimana pula bisa kutinggalkan puisi? Ah, andai puisi bisa genap menghidupi, tentulah kau sudah kupinang jauh-jauh hari. Andai tak kudapat beasiswa dari negara, bagaimana pula bisa kulanjut studi di kampus utara, tempat Umar Kayam mengajar dan membangun iklim sastra kita ?

Oh, ya, saat mencari beberapa sumber untuk catatan suatu drama, kutemukan arsip surat  Navis, arsip surat kepada Nasjah Djamin; dan menarik pula kiranya guna mempersoalkannya, meski agaknya tak genap jadi kritikan. Ya, untuk lomba kritik itu hanya hendak kusampaikan itu saja. Adapun, surat itu terbit dalam Majalah Budaya Nomor 01 & 02, Januari-Februari 1961; dan barulah kutahu bila  Navis punya ketertarikan dan perhatian yang dalam pada teater dan drama. Ah, semoga ia mau memaafkanku di sana; sebab begitu sembrono dalam menimbang. Bila kau juga tertarik, akanlah kukirimkan beberapa salinannya nanti—di suratku selanjutnya: setelah balasanmu tentunya.

Seperti yang kau tahu, aku tak suka sekali menulis-membaca artikel ilmiah, dan sejenisnya. Akan tetapi, ketika kubaca aturan sayembara itu, aku jadi bertanya-tanya; sebab bentuk yang diharapkan adalah esai yang lunak. Aku paham, itu sudah ketentuan lomba; tapi aku jadi tergoda guna bertanya: Apakah artikel ilmiah dan sejenisnya bukan kritik sastra? Dan lebih jauh, aku tergoda pula bertanya: Ketika kritik tersebut ditulis dalam bentuk sajak, prosa naratif, atau naskah drama, apakah kritik masihlah kritik—atau malah menjadi karya baru lagi? Ah, aku tak tahu; dan mungkin memanglah mesti kucari tahu; kuyakin, ketika kau membaca pada bagian ini, kau akan merasa sebal.

Namun, aku sungguh bisa membayang wajahmu; kau jadi bertambah ayu. Ah, Gadisku, tertawalah. Meski samar, kukira kita mesti sedikit percaya, meski sastra tak menjamin penghidupan —tapi ia terampil membawa kita pada sejenis bahagia. Dan lebih lanjut, aku bertanya-tanya pula, meski jelas di tema telah kentara, Navis yang dibaca ini karyanya, pribadinya, atau kerjanya? Bukankah hal demikian meski sama terasa beda?

Gadisku…

Di muka surat itu, Navis membuka suratnya dengan bercerita pada Djamin tentang pamannya, bercerita bahwa pada pamannya itu dia suguhkan naskah drama Djamin yang berjudul “Titik-Titik Hitam”. Drama itu mendapat sejumlah catatan dan timbangan; dan pembanding cerita dari si paman atas peristiwa di Amerika —yang begitu karib ketika kini ditimbang. Di surat itu, Navis menulis, kala membaca drama-drama Idrus, Achdiat, Amal Hamzah, Armijn Pane, Utuy, dan sebagainya, ia menemukan soalan menarik: egosentrisme pengarang, cita-citanya, kelemahan jiwa, immoralitet, dan sebagainya— yang tak kurang harganya untuk dikemukakan pada Djamin.

Dalam suratnya, dia mengatakan semua seniman dalam drama-drama itu dikonfrontasikan dengan segala macam manusia yang tak kurang pentingnya di masyarakat. Akan tetapi, karena seniman saja yang punya karakter kuat dan bercita tinggi, semua lawan-lawannya dikalahkan. Dalam hal ini, Navis berani berkata, jika di kurun 50-an, bahkan mungkin juga kini, seniman terlampau suka memuliakan diri sendiri: seolah merekalah manusia paling ideal di bumi.

Dalam suratnya, Navis menuliskan, akhirnya dia pahami kenapa pengarang drama kala itu, pun bisa pula ditimbang di masa kini, banyak mengangkat tokoh seniman sebagai tokoh utama. Navis melanjut, dalam suratnya itu, semua itu karena pada masa itu adalah masa awal mereka menulis: dan sudah wajar mereka ambil yang intim: diri sendiri: seniman! Mereka lebih tahu akan cita-cita mereka sendiri daripada cita-cita orang lain.

Saat membaca bagian-bagian itu, Gadisku, bukankah diri ini seperti ditampar teramat? Namun, sungguh harus kuakui, membaca surat itu sungguh keberuntungan yang mesti kusyukuri, baik membawaku pada kemenangan atau tidak. Drama, sebagai genre sastra, seperti yang sering kita bincangkan dulu, lebih berpijak pada tokoh-tokohnya, karakternya; dibanding plot-alur penarasian atasnya seperti prosa-fiksi. Karenanya, tentu variasi dan ketokohan yang kokoh di drama jadi utama. Dengan demikian, wajarlah pula keluhan Navis: Jika tokohnya seniman semua, dengan heroisme yang sama, keringnya drama! Dan tentu, kritik itu bisa dibawa pada genre lainnya: Apakah sastra kita hanya tentang seniman-senimannya saja?

Dengan cara yang jernih, Navis tunjukkan, corak demikian sebab dramawan kita dulu, dan agaknya kini pula, belum meluaskan studi; sehingga lagi-lagi hanya tentang diri sendiri sebagai seniman itu lagi di samping soalan cinta yang begitu mahapurbanya itu dalam semesta seni dan sastra! Kepada siapa pula karya demikian disuguhkan bila bukan pada seniman yang bisa menikmatinya, sebab kedekatan? Ah, betapa sempitnya…

Dalam surat itu pula, Navis menuliskan, ada suatu soalan ekonomi pula yang membentang. Ia memberi contoh Hemingway yang melakukan riset kerja mendalam untuk menulis Old Man and The Sea; dan membandingkan dengan bagaimana pengarang kita —di kurun itu, juga kurun ini agaknya— yang berkisar hanya pada kedai kopi, rumah pelacuran, pondokan sendiri, dan kantornya kalaulah pegawai. Memperluas suatu pengalaman dan pembelajaran adalah niscaya bagi pengarang. Namun, sudahkah sesuai pengarang-pengarang kita membaca, duh, Gadisku? Termasuklah juga diriku!

Gadisku…

Di muka surat sana, kukatakan, kuharap surat ini bisa menghiburmu; tetapi nyatanya hanya berisi keluhan saja. Aku mesti mohon maaf untuk itu. Kukira, surat ini mestil kusudahi dulu, sebab mesti berangkat menyaksi pertunjukan dan menulis ulasan. Dan bersama surat ini, kukirim beberapa foto bagus dari beberapa pameran yang sempat kudatangi dan kubuat ulasannya. Juga kuselipkan sedikit uang, untuk adikmu membeli mainan. Aku tahu, dia sudah remaja; tetapi lelaki tetaplah kanak.

Kau tak perlu risau tentang keluargaku; sudah kuberi pula. Biarlah keluargaku, juga keluargamu, yang lekas bisa disebut keluarga kita, makan dan hidup dari uang seni dan sastra. Tidakkah kau masih tergoda berkata: Kumasakkan sayur dari hasil puisi dan esai tentang seni? Ah, romantisme itu —yang juga dikritik Navis. Kuharap kau bisa membalas suratku lekas; tapi bila beberapa kerja mesti kau kerja, kerjakanlah dulu.

Oh, ya, belilah koran akhir pekan esok, ada lima puisiku yang tayang di sana kata redaktur yang kemarin lusa kujumpa di sebuah acara. Kau tak perlu bertanya, pada siapa puisi-puisi itu kupersembahkan.

Salam dan doa baik selalu…***

(2024—2025)

 

Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998; dan menetap di kota kelahirannya pula. Ia adalah penulis cerita, naskah drama, dan ulasan teater, serta seni rupa. Selain menulis, terkadang ia menjadi kurator seni dan sutradara teater. Ia dapat dihubungi di Instagram: polanco_achri.

 

 

 

 




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.