Kabut
ZKAM.DE
AKU menyodorkan sebuah cerita pada seorang teman. Isi cerita itu kebanyakan berkisah tentang seputaran kabut, bagaimana sebuah kabut dengan segera muncul di sebuah kota. Begitu kelam, menghalangi pandangan, sehingga membuat orang tak mengenali apa saja yang dilihat. Orang mendadak buta, tak bisa memandang terlalu jauh. Kabut yang terus menghalangi setiap kali berjalan, singgah ke suatu tempat. Tetapi untunglah sebagian besar orang telah terbiasa dengan keadan ini. Sehingga tak perlu terlampau cemas. Sebab, kabut nampaknya sudah menjadi rutinitas sehari-hari bagi kehidupan mereka. Mereka seperti terbiasa dengan keadaan ini.
Rutinitas pun mendadak berhenti. Waktu masih tetap berjalan. Namun, mereka tak bisa menaksir, sudah jam berapa ini? Walau beberapa dari mereka masih ingat tanggalan yang terus berganti, masih ingat mereka hidup di tahun berapa. Tetapi, tak ada kejadian yang bisa mereka saksikan. Tak ada berita yang mereka dapati, secara utuh lengkap dengan wajah yang akan mempertajam ingatan mereka . Setiap kali menyalakan televisi, mereka tak pernah bisa melihat apa-apa. Paling-paling, mereka hanya mendengarkan radio, mencari gelombang ke stasiun radio di lain kota yang berjauhan. Mendengar berita dengan suara-suara yang tak lagi jelas. Hanya kresek-kresek saja yang didapati, sesekali menghilang ditiup angin. Terkadang mereka mendengar pergantian kabinet di suatu negeri, yang terjadi karena mosi tak percaya dari rakyatnya.
Perang yang berkecamuk di suatu negara, di mana negara tersebut sudah di-embargo, dilucuti persenjataannya. Koruptor-koruptor yang dijebloskan ke penjara. Mereka hanya bisa mendengar suara-suara saja, terkadang begitu pilu dan sayup. Terkadang terdengar begitu meriah dan bergembira. Seperti berada dalam suasana pesta, terdengar nyanyian-nyanyian yang menggema. Begitu hingar dan bingar. Suara yang terus berlompatan, menjejakkan langkahnya, ke setiap sudut. Meski, mereka tak lagi tahu gambar siapa-siapa saja yang dijebloskan ke penjara. Mereka tak bisa lagi membaca buku, membaca surat kabar, yang menampilkan foto-foto seseorang dengan raut wajahnya. Mereka tak lagi mengenal gambar, mereka hanya bisa melakukan perkiraan-perkiraan, yang itu pun selalu luput dengan keadaan yang sebenarnya.
Para pelajar dan mahasiswa di kota ini tak lagi pergi ke kampus. Mereka tak bisa lagi membaca buku. Para intelektual itu, seperti menghilang. Menjadi satu dengan orang kebanyakan. Mereka hanya bisa mengingat-ingat apa yang pernah didapatkan dulu di sekolahan. Bila kabut adalah sebuah peristiwa biasa, sebuah gejala alam yang wajar terjadi. Yang mereka lakukan hanyalah berjalan, entah ke mana, dan mendengarkan suara-suara. Keadaan ini seperti terus berulang, kerap terjadi. Membuat mereka terbiasa, apabila hendak memakan sesuatu mereka meraba-raba, benda-benda yang dianggap makanan. Mengendus-ngendusnya sebentar, kemudian memakannya dengan lahap. Meski, terkadang mereka salah dalam memakan sesuatu, terkadang yang mereka makan, hanyalah kertas, daun-daun, sepotong lumpur, bahkan plastik yang mereka dapati begitu saja. Begitu pula di saat haus, mereka hanya bisa mengendus segala yang mereka anggap berbentuk cair. Menenggaknya dengan seketika.
***
SIAPA pun tak pernah tahu dari mana kabut itu berasal. Yang mereka ketahui hanyalah, suatu pagi, pada saat mereka membuka gorden jendela dengan segera mereka mel;ihat asap putih yang sangat lebat. Mereka tak bisa lagi memandang ke depan. Sungguh, begitu gelap. Yang nampak hanyalah warna putih yang menjalar di mana-mana. Mereka tak bisa lagi menyaksikan apa-apa. Terkadang pula, apabila mereka berjalan ke suatu tempat, dan kebetulan sekali bertemu dengan seseorang, mereka akan bertanya, “Maaf, ini di mana, ya?” Meskipun mereka tak lagi mengenali dengan jelas siapa yang ditanyanya—kejadian yang begitu cepat, membuat mereka tak bisa lagi berpikir cepat. Sesekali, di antara mereka juga tiba-tiba menubruk seseorang, kemudian akan berkata kembali, “Maaf,”. Kata-kata maaf itu sudah sering berulang kali mereka keluarkan dari mulut. Kata-kata yang biasa ditelurkan setiap kali melakukan kesalahan, seperti sebuah kebiasaan.
Begitulah. Kejadian ini seakan teramat lama. Kabut itu singgah dan terus singgah. Menghalangi pemandangan. Membuat beberapa dari mereka mulai lupa pada warna. Sebab, yang nampak hanyalah putih semata. Paling-paling hanya warna hitam dan putih saja, yang mereka ketahui. Warna hitam itu mereka jumpai pada setiap kali menutupkan mata. Pada saat ingin tertidur, mereka menemukan warna hitam yang pekat. Sebuah kegelapan yang teramat panjang. Penduduk kota itu, hanya mengenal dua warna saja: hitam dan putih. Apabila mereka terbangun, mereka tak lagi tahu, apakah sudah siang ataupun malam. Yang jelas setiap kali membelalakkan mata, yang mereka temui kembali adalah warna putih—yang menghalangi pandangan, yang membuat mereka harus meraba-raba. Menegakkan tangan ke depan untuk berjalan.
Terkadang pula, untuk mengenali anggota keluarga satu dengan lainnya. Mereka harus meraba dan mesti bersuara. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui bila itu ayahnya, ibunya, kakak, om, tante, kakek, nenek, atau adiknya. Terkadang pula, beberapa anggota keluarga menghilang dengan sekejap. Begitu saja, tanpa penjelasan. Barangkali, tersesat di suatu tempat, pada saat sedang keluar rumah. Barangkali, terperosok ke lubang-lubang parit di sepanjang kota yang selalu tak kelihatan. Atau berjalan tak tentu arah, yang membuat beberapa dari mereka tak tahu lagi jalan untuk pulang ke rumah. Baru, setelah berpuluh-puluh tahun, mereka menemukan kembali keluarganya. Itu pun beberapa dari mereka ada yang tak lagi saling mengenal. Seperti telah lupa, beruntung juga bila mereka masih bisa mengenalinya lewat suara. Sebab, kabut terus saja turun. Cuaca terus-menerus dingin. Menebarkan aroma kesangsian, mengirimkan sebuah suasana yang tak menentu. Tak ada berita yang masuk di kota ini, tak ada hubungan kabar keluar, perihal apa saja yang terjadi. Paling-paling, hanya berita radio dari kota lain, yang membuat mereka memahami apa yang telah terjadi di luar sana.
Sesekali, beberapa orang dari mereka, merasa harus keluar dari kota ini. Mereka merasa, di luar sana akan mendapati suasana yang berbeda, suasana yang lain. Di mana tak ada kabut, sebuah wilayah yang bersih. Maka, beberapa dari mereka mulai berjalan, menuju perbatasan. Berharap akan menemukan sebuah daerah yang bersih, tak ada lagi kabut yang menyelinap.
Kabut yang kian tebal, merapatkan pemandangan. Mereka merasakan di retina ada yang terhimpit. Menghalau daya pandang, mereka tak bisa menebak apa-apa lagi. Kabut yang turun dengan cepat, membungkus kota sampai bertuba. Bagai awan putih yang berjelaga, mengaburkan segalanya. Semuanya nampak tak jelas, tak begitu pasti.
Kehilangan demi kehilangan acap mereka dapati. Tetapi, nampaknya mereka sudah sebegitu biasa. Mereka merasa harus memaklumi semua ini. Sebab, di dalam kabut hanya ada kebimbangan yang terus singgah. Di dalam kabut tak pernah ada kejelasan. Kabut adalah sebuah peristiwa yang ajaib. Yang membuat orang menjadi linglung dan aneh dalam memandang sesuatu. Terkadang, mereka meraba sebuah benda. Namun, di antara mereka, saling mengatakan yang berbeda, perihal apa yang dirasakannya. “Ini patung kota. Patung yang dibangun di tengah kota ini. Jauh hari sebelum kabut singgah di sini. Patung itu loh, yang menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap sebuah penjajahan. Patung seorang pahlawan yang turut membangun kota ini,” kata salah seorang ketika terantukl sebuah benda yang teramat besar.
“Bukan, ini bukan patung. Melainkan sebuah tank. Tank, iya tank. Besi dingin yang tak segan-segan menembakkan peluru dari moncongnya. Aku tahu ini pasti tank. Sebab, beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum kabut ini turun dan menutupi pandangan. Aku pernah menaikinya. Sehingga aku tahu. Coba pegang saja, benda ini sebegitu keras.” Salah seorang lainnya menyanggah.
“Tank, apa. Pala lu peyang! Ini bukan tank, gemblung! Ini merupakan gedung yang teramat tinggi. Kau ingat, bukankah dulu, sebelum kabut turun di kota ini, pak Walikota menjanjikan untuk membangun gedung yang tinggi sekali. Sebagai sebuah kebanggaan kota ini. Bila kita telah memunyai peradaban yang tinggi. Kau ingat, kan dengan walikota kita itu. Tapi, ke mana ya pak Walikota itu? Kok, seperti lenyap begitu saja. Mentang-mentang ada kabut, menghilang dalam kabut, begitu?”
“Ini bukan tank, patung, ataupun gedung. ini hanyalah batu yang teramat besar, yang belum sempat dipindahkan. Iya kan?”
Untuk mendefinisikan sebuah benda saja, mereka, antara satu dengan lainnya acap gaduh. Tak pernah ada kesepakatan yang pasti. Tak pernah mendapatkan jalan keluar yang sama. Mereka seakan-akan menamakan segala yang mereka dapati sesuka hati. Memaknai apa saja, sesuka perut, seenak jidat. Mereka merasa yang mereka lakukan telah benar. Seolah begitu benar… *)
***
AKU meminta pendapat, tentang cerita kabut itu kepada temanku. “Bagaimana? Apa komentarmu, apakah aku sudah berhasil jadi seorang cerpenis yang berbakat?” ia membaca ulang kembali naskah itu. Meneliti kalimat demi kalimat kembali, menelusurinya, sesekali ia terlihat begitu kepayahan. Memaksanya membaca kembali berulang-ulang paragraf demi paragraf. Aku menunggu. Tampak dahinya berkerut, ada parit-parit sungai kecemasan yang muncul di dahinya itu. Tiba-tiba, ia tersenyum. Gembira sekali, seperti telah menemukan sesuatu. “Bagaimana? Tolong, dong dikomentarin!”
Ia menarik napas. Begitu tenang. “Kau mesti banyak lagi membaca. Cerita ini aneh! Tidak realistis. Coba pikir mana ada kabut di sebuah kota? Kabut hanya ada di daerah pegunungan, bung! Bagaimana bisa kau melakukan transfer terhadap sebuah kejadian, apabila kejadian itu tak mungkin terjadi sama sekali! Perbaiki imajinasi yang bung punya!”
Aku terdiam. Mungkin, ada benarnya. Tetapi, ketika aku baru ingin mengucapkan terima kasih atas komentarnya. Aku melihat kabut turun dengan segera. Menyelimuti sekeliling kami. Semuanya seketika menjadi putih. Retina mataku seperti mengatup. Pemandangan di depan tak lagi nampak.Begitu tebal, hingga aku tak lagi melihat raut wajah temanku tadi…***
Catatan:
*) Periksa juga sajak Iswadi Pratama “Memo” . Sajak ini saya pikir cukup getir, dengan menghubungkan keadaan yang terjadi dalam dunia kesenian di negara ini. Yang saya ingat sajak ini dibuka dengan sebuah penandaan, bila seorang seniman, tetap bertahan untuk melakukan apapun, entah karena sudah menganggap itu merupakan dunianya. Malam telah lunglai, angin runtuh di jendela/tapi aku belum lagi usai, menjelajah ke dalam puisi/ pertunjukan yang gagal, atau diskusi-diskusi yang maknanya selalu abai. Aku belum berhenti, meski orang telah beringsut pulang/memendam impian pada rumah dan ranjang. Jiwaku masih sasar, memasuki lorong-lorong pasar/ mencari pikiran nanar dengan sukma yang gemetar. Apakah maknanya ketika semua yang tak berharga, selalu kukejar, seolah begitu benar? Saya jadi teringat Goenawan Mohammad dalam salah satu Catatan Pinggirnya “Surat Buat Sri-Ediwaty”. Dunia kesenian adalah dunia yang aneh, di mana seseorang terpaksa bertahan. Terlebih lagi dunia teater, seseorang seakan berdiam di sana, berlatih, dan berlatih, melakukan kesalahan, memeriksa kesiapan pertunjukan. Persoalannya di luar sana, banyak hal yang terjadi. Semacam turunnya kurs rupiah, saham yang anjlok, tetapi si seniman bertahan dalam lingkup dunianya. Entah, apa untuk dianggap sebagai seniman.
Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023), Fragmen-fragmen bagi Sayyidina Muhammad (kumpulan puisi, Penerbit Diva Press, 2024). Instagram: alexrnainggolan
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















