Aku Tak Lagi Bisa Bercerita tentang Cinta
(A BROKEN HEART OF MAN/FACEBOOK)
BIASANYA aku mengawali cerita dengan kalimat-kalimat sentimental. Namun sejak mulai menganggur hampir lima bulan lalu, segala yang sentimental itu, yang romantis serba berbunga mendayu-dayu itu, lesap menyisakan gagu. Aku tak lagi bisa bercerita tentang cinta selancar dulu.
Aku selalu gagal menenangkan diri dan berkonsentrasi. Apakah ceritaku akan memikat? Apakah ada media yang bersedia memuat?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bahkan telah melesat berkelebat dalam kepala sebelum aku benar-benar mulai menuliskan kata-kata pertama. Kecenderungan yang tidak pernah terjadi saat aku masih bekerja; datang ke pabrik tiap hari, pergi pagi kadang pulang juga pagi, dan tiap awal bulan mendapatkan gaji. Dengan kata lain, memikat atau tidak, dimuat atau tidak, sejujurnya tak terlalu aku pusingkan sebab bagaimana pun segenap kebutuhan harian tidak pernah sampai betul-betul terancam. Anak dan istriku tetap bisa makan.
Sekarang situasinya berbeda. Untuk menarik perhatian editor aku harus menulis sebaik-baiknya. Tidak boleh ada kesalahan. Titik koma dan penempatan tanda-tanda baca lain jangan sampai keliru. Terlebih sampai saltik, terutama pada huruf-huruf yang berdekatan atau lantaran sistem mekanis komputer. Tak kalah gawat tentunya logika kalimat, satu sama lain harus diperhatikan betul agar saling sambung-menyambung dengan mulus. Pendek kata, memang harus sempurna. Celakanya, makin ke sini, makin aku berhati-hati, hasilnya justru makin buruk.
Atas kenyataan-kenyataan ini istriku menunjukkan dua reaksi yang sangat tergantung pada suasana hatinya. Jika tidak sedang kesal dia akan bilang, ‘sabar, sayang, mungkin belum rezeki kita’. Sebaliknya, apabila hati dan pikirannya tengah dibekap dongkol, geram, marah, sedih, kecewa, dan sebangsanya, ia bisa mencecerkan ceracau panjang yang diakhiri titah perintah ketus: ‘ketimbang kamu bengong-bengong sendirian dan lambat laun jadi gila sungguhan, mending cari kerja lain yang lebih mungkin menghasilkan uang!’
Maka kukirimkan juga surat-surat lamaran pekerjaan. Berpuluh-puluh lembar mungkin sudah banyaknya, dan ternyata, serupa tulisan-tulisanku, nasibnya tak jauh berbeda. Jarang sekali dijawab. Andai pun ada yang dijawab, aku tidak pernah berhasil melewati tahapan-tahapan selanjutnya.
Padahal aku bukan sebangsa pemula. Menuliskan lamaran, mengikuti tes demi tes, termasuk tentu saja wawancara, sudah berkali-kali kuhadapi dan kulewati. Tidak semuanya berujung memuaskan, tapi rata-rata tidak terlalu buruk. Aku sudah hapal mana pertanyaan pewawancara yang bersayap dan mana pula yang menjebak. Namun entah kenapa, sejak diberhentikan dari pekerjaan terakhir, upayaku untuk kembali bekerja kerap berujung kegagalan. Apakah aku sedang sial saja? Atau jangan-jangan ini sebangsa konspirasi antarperusahaan, kongkalikong yang membuat namaku masuk dalam daftar hitam?
Aku memang tidak keluar baik-baik. Aku diberhentikan. Persisnya, dipaksa berhenti. Berbagai kebijakan perusahaan yang merugikan pekerja meletupkan aksi-aksi unjuk rasa, dan aku, termasuk yang dicurigai sebagai penyulut provokasi.
Atas ini, mereka, petinggi-petinggi perusahaan, tidak langsung memecatku. Mereka membiarkan aku tetap bekerja, tapi sembari terus menerorkan hal-hal yang membuatku merasa tak nyaman. Mulai dari pembatasan wewenang, pemotongan insentif, bahkan gaji, sampai sanksi untuk perkara-perkara menggelikan dan kentara amat dicari-cari. Puncaknya, aku mendatangi seorang manajer, bertengkar dengannya, lalu menghantamkan kepalanya dengan helm. Tidak ada luka-luka yang parah. Hantaman helm hanya meninggalkan benjolan kecil di kening. Namun, ini sudah lebih dari sekadar cukup untuk menyudutkanku pada posisi tidak menguntungkan. Bilang mereka, pilihan untukku hanya dua: menerima pemecatan tanpa pesangon atau dilaporkan ke polisi atas tudingan melakukan tindak pidana penyerangan dan penganiayaan.
Jadi bagaimana aku bisa menuliskan lagi cerita-cerita cinta? Dulu, sekiranya buntu, aku hanya perlu sejenak berbaring memejamkan mata lalu memutar ulang adegan film-film romantis di kepalaku. Adegan penutup City of Light, ketika Charlie Chaplin, dari balik etalase toko, bertatapan tak sengaja dengan gadis penjual bunga yang tadinya buta, selalu mampu melejitkan imajinasi. Betapa sentuhan cinta sedemikian rupa dapat membuat kebisuan hadir sebagai keindahan.
Sekiranya belum cukup, aku tinggal memilih adegan yang melibatkan Clark Gable dan Vivien Leigh dalam Gone With The Wind, misalnya, atau Humphrey Bogart dan Ingrid Bergman dalam Casablanca. Biasanya selalu berhasil. Atau yang hampir-hampir tak pernah gagal juga, tentu saja, semua adegan yang memasang Kajol-Shah Rukh Khan dan Widyawati-Sophan Sopian.
Belakangan lain sekali. Tiap mencoba memejamkan mata, yang melesat justru rangkaian kekalutan. Wajah anak dan istriku, potongan-potongan aksi unjuk rasa, pertengkaran-pertengkaran, kekacauan-kekacuan. Pendek kata, adegan, yang rasa-rasanya, memang jauh dari kata romantis.
Pun kali ini. Aku tadinya ingin menyeret Jim Carey kembali ke salah satu adegan yang cantik dalam Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Adegan ketika ia berbaring di sisi Kate Winslet di atas es lalu menunjukkan letak Osidius the Empathic di langit, lalu sama-sama tertawa untuk keasingan yang tak perlu lagi dipusingkan. Namun aku gagal menghadirkan Jim Carey. Juga Kate Winslet. Setelah hampir satu jam melayang-layang di antara ketidakjelasan bayang-bayang, yang muncul malah adegan pengejaran serba riuh yang berakhir di atap masjid.
Sialan! Bagaimana adegan ini bisa terekonstruksi dalam kepalaku? Aku tahu dari mana datangnya. Sore menjelang petang tadi, saat sejenak beristirahat melepas lelah di satu kedai kopi, tak sengaja kubaca berita di lembaran koran yang terserak di atas meja. Koran yang bertahun-tahun lalu sangat jaya, yang halamannya dulu tebal disesaki iklan. Saking sesaknya, sampai muncul anekdot, bahkan sekiranya koran ini dibuang ke laut tanpa tersisa pada hari penerbitannya, mereka tetap tidak akan rugi. Sekarang jangan ditanya. Tak usah berharap untung lagi, sebab bisa sekadar terbit pun sudah bagus sekali.
Aku lupa judulnya, tapi kira-kira seperti ini isinya.
Kejadian berawal dari korban, Munawar Tawakal, yang memergoki aksi pelaku bernama Marjili Samsuri, yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Menurut Laila Habsah, istri Munawar, rumah mereka saat itu sedang kosong. Ia, Munawar, dan ibu mertuanya, pergi menghadiri kenduri. Habsah menduga, Marjili masul dengan cara merusak dinding belakang dekat dapur, menggunakan pakai linggis. Dinding rumah mereka yang terbuat dari papan memang memungkinkan untuk dicongkel. Saat pemeriksaan tempat kejadian, polisi memang menemukan sebuah linggis berikut parang seukuran panjang lengan.
Marjili mengambil laptop, televisi, rice cooker, tabung gas, kipas angin, jam dinding, juga tiga pasang sepatu, lima celana jins dan sebelas baju kemeja milik Munawar.
Adalah Munawar sendiri yang memergoki Marjili. Bersama lima saudara kandungnya yang juga tinggal bertetangga, ditambah Laila dan puluhan warga yang ikut bergabung, Munawar mengejar Marjili dan membuatnya terdesak. Namun dengan ketangkasan tak terduga dia memanjat pilar masjid dan naik ke atapnya dan bertahan di sana sampai kurang lebih 15 jam.
Lantaran kelaparan dan kehausan, Marjili akhirnya menyerah dan turun. Para pengejarnya, yang juga lelah, dengan dorongan emosi meletup-letup, menggebuki Marjili tanpa ampun.
***
ISTRIKU tiba-tiba menggeliat, lantas berbalik, dan –sungguh celaka– aku terlambat memejamkan mata. Kami bertatapan. “Belum tidur?” tanyanya.
“Apakah terlalu kejam jadinya kalau kubiarkan Marjili Samsuri mati digebuki? Atau barangkali perlu kutambahkan semacam alasan miris, agar setidaknya, walau pun dia mati paling tidak bisa meninggalkan sedikit empati?”
Istriku tersenyum. Dibelainya pipiku. “Tidurlah, Sayang. Tuliskan ceritamu nanti. Siapa tahu ada yang mau memuatnya kali ini,” katanya lalu membalikkan badan kembali. Dalam keremangan, kulihat rambutnya yang keriting panjang menutupi punggungnya yang terbuka, melingkar-lingkar dan kusut seperti sarang burung dari bunga rumput.
Aku ikut membalikkan badan. Sedikit banyak ada perasaan lega, tapi memang tak lama. Di antara lamat-lamat lantunan ayat suci pengantar azan subuh yang tersiar dari pelantang masjid di ujung jalan, kudengar lagi suara istriku. Lebih lembut, hampir lirih, tapi terasa menusuk sampai ke hulu jantung.
“Oh, iya, satu lagi. Uang hasil penjualan cincin kawin kita tinggal untuk makan dua tiga hari.”
Medan, 2025
T Agus Khaidir lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1977. Lewat jagat maya, bisa berinteraksi di akun Facebook T Agus Khaidir, Twitter/X @aguskhaidir, dan Instagram @khaidir46. Sejumlah cerpen pernah dimuat di media massa, cetak maupun daring, serta sejumlah antologi bersama. Cerpen “Ihwal Nama Majid Pucuk” dipilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 2022. Belum lama menerbitkan novel Kekalahan Keempat (Basabasi, 2024) dan Taksi Malam (Kompas, 2024), serta kumpulan cerpen Waktu Itu Hujan Rintik dan Aku Merasa Asing dan Sendiri (Kompas, 2025). Saat ini tinggal di Medan, Sumatra Utara. Bekerja sebagai wartawan dan fotografer.
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















