Kawan Lama
Jean-Michel Basquiat, Dos Cabezas, 1982 (artsy.net)
HUJAN yang turun sejak sore mulai reda menjelang tengah malam, tapi suasana belum betul-betul sepi. Satu dua kendaraan masih lalu-lalang. Saya menikmati sesapan terakhir kopi sambil menunggu hujan benar-benar tuntas. Sembari menepis setitik keraguan yang membersit di dalam benak saya keluar rumah. Saya mengenakan jaket hoody dan topi yang tidak hanya melindungi dari dingin tapi juga menyembunyikan sebagian wajah saya. Sepatu kets yang membungkus kaki saya membuat gerakan saya lebih ringan dan tidak menimbulkan suara.
Jalan yang menghubungkan desa saya ke desa kawan saya di kecamatan sebelah terhampar mulus dilapisi beton sejak pabrik-pabrik bertumbuhan di daerah kami, memangsa lahan pertanian produktif, menyedot air tanah, sehingga sumur-sumur warga kering. Tak ada lagi genangan air hujan di jalan berlubang seperti dulu. Pengguna jalan nyaman berkendara. Ban sepeda motor saya menggelinding mulus di jalan beton. Jika lancar, dengan kecepatan 60 kilometer per jam, saya hanya memerlukan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke rumah kawan saya.
Sudah lebih dari dua puluh tahun saya tidak bertemu kawan saya. Lulus SMA dia melanjutkan ke perguruan tinggi sembari mesantren di Surabaya. Sementara saya bekerja di Tangerang, mulai dari jadi penjual asongan, pramuniaga minimarket, pramusaji rumah makan, hingga akhirnya menjadi buruh pabrik. Tahun pertama setelah lepas SMA, kami masih saling berkirim kabar. Tahun berikutnya makin jarang, hingga akhirnya lepas kontak sama sekali.
Pertemuan kami kembali terjadi setahun lalu dalam acara reuni. Dia datang bersama istrinya yang jauh lebih muda. Dia sendiri terlihat makin bersinar. Sementara kulit saya yang sejak dulu tidak secerah kulitnya sekarang masih kusam, begitu juga wajah saya. Segalanya menunjukkan perbedaan yang nyaris kontras. Nasib kami tidak bertukar: dia selalu dirindangi kehidupan yang mudah, sementara saya seolah tak pernah beranjak dari kesedihan. Perasaan iri yang sekian tahun menghilang mendadak mekar lagi. Kali ini bahkan lebih parah dan menyiksa. Namun kini saya tidak lagi menyalahkan Tuhan. Saya sudah meninggalkan kepercayan bahwa Tuhan mengatur nasib orang. Semua ini semata hukum sebab akibat.
Giginya terlihat secemerlang bola matanya, pakaiannya, dan segala yang melekat di tubuhnya. Suaranya terdengar santun, dengan artikulasi yang jelas, dan penuh percaya diri, namun sekaligus mengintimidasi.
“Apa kabar, Sobat?” tanyanya sambil menepuk bahu saya.
Sapaannya masih terdengar hangat, meski terkesan tak setulus dulu. Sambil menikmati hidangan laut, kami ngobrol ngalor-ngidul. Kawan saya sekarang seorang PNS dan kepala yayasan pondok pesantren warisan bapaknya. Memiliki dua orang anak menjelang remaja. Sementara saya tidak banyak menceritakan perjalanan hidup saya yang sampai saat ini hidup sendiri. Bahwa saya pernah dipenjara gara-gara aksi menuntut kenaikan UMK dengan membakar sebuah pabrik di Tangerang.
Sepulang dari acara reuni itu perasaan iri di hati saya tumbuh makin besar, seperti api yang ingin membakar segala yang saya miliki. Membuat saya gelisah. Terbayang terus penampilannya yang menunjukkan betapa hidup selalu memberinya kemudahan, istrinya yang manja menggamit lengannya, menyandarkan kepala ke bahunya. Istri kawan saya adalah anak tunggal seorang tuan tanah. Tanahnya yang ratusan hektare saat ini disewakan menjadi pabrik, deretan ruko, dan kamar-kamar kontrakan. Sekarang ini kawan saya sedang bersiap-siap mencalonkan diri menjadi anggota dewan.
“Tolog bantu saya, Sobat! Untuk kemajuan daerah kelahiran kita, ” ucapnya.
Sekali lagi dia menyalami saya sembari mengundang saya ke rumahnya untuk membicarakan lebih lanjut soal rencana pencalonannya. Saya hanya tersenyum sambil menyesali kedatangan saya ke acara reuni.
***
SAYA memperlambat laju motor saat hendak melintasi persilangan. Dua puluh tahun lalu sisi kanan kiri persilangan ini hanya hamparan sawah. Kini berubah ditumbuhi deretan ruko, perumahan, restoran, minimarket, toko bangunan, warung-warung, dan pabrik. Beberapa warung saya lihat masih buka dengan beberapa pengunjung. Mendadak saya ingin singgah sebentar untuk makan mi rebus karena sejak siang perut saya belum terisi.
Sambil menyuapkan mi rebus ke mulut perlahan, saya kembali menyesali kedatangan saya di acara reuni itu. Sejak pertemuan itu saya dan kawan saya jadi rutin berkirim pesan dan menelpon. Disusul pertemuan di sebuah tempat, di sana dia mengatakan dirinya tidak seperti yang saya lihat.
“Saya seorang pecundang,” ujarnya dengan suara serak.
Kawan saya bilang istrinya memperlakukan dirinya seperti pelayan. Sebuah pengakuan yang tak terduga. Saya merasa sedih, tapi sekaligus gembira karena dia masih menganggap saya teman dekatnya.
“Dia hanya menjadikan saya semata sebagai pendamping untuk menghadiri acara-acara keluarga,” kawan saya bilang. “Dia selalu sibuk dengan teman perempuannya!”
Terdengar makin aneh bagi telinga saya, namun saya kemudian memahami keganjilan ini. Seluruh sandiwara yang kawan saya mainkan. Termasuk bagaimana dia tidak bisa keluar dari situasi yang sulit ini karena jeratan utang jasa keluarganya kepada keluarga istrinya. Mertua kawan saya menjadi donatur tetap yang menyokong yayasan pondok pesantren orang tua kawan saya.
“Mertua saya memandang rendah saya, karena hanya bisa mengaji dan berdoa,” katanya.
“Mungkin hanya perasaanmu saja, Kawan,” kataku.
“Aku tahu persis tentang mertuaku, Sobat. Dia akan membangga-banggakanku di depan tamu-tamunya. Setelah mereka pergi, senyumnya mencemoohku laki-laki lemah yang merepotkan.”
Cerita yang membuat saya menyesal datang ke acara reuni itu.
***
SUSAH payah saya keluar dari jeratan Iwenk, kawan saya selama di penjara. Dia tangan kanan narapidana paling berkuasa di sana. Sebagai penghuni baru, saya jadi bulan-bulanan warga sel. Di dalam lapas seperti sebuah kerajaan. Ada raja yang paling berkuasa, ada prajurit yang siap memenuhi perintah, dan ada rakyat yang mau tak mau harus siap jadi mangsa untuk diperas, diperlakukan semena-mena seperti budak. Tak ada yang berani melawan kalau tak mau disiksa.
Karena Iwenk saya selamat dari siksaan para prajurit yang membuat bergidik. Lambat laun penjara mengubah saya menjadi pribadi yang berbeda. Selepas bebas dari penjara Iwenk menghubungi saya dan mengajak bergabung dengan komplotannya. Bertahun-tahun saya menjadi perampok yang kadang dengan terpaksa harus membunuh. Sampai tiba saatnya saya merasa harus keluar dari jeratan Iwenk. Saya pulang ke desa dan ingin menghabiskan sisa waktu saya dengan menjadi petani dan beternak itik.
“Saya pengin pensiun, Wenk.”
Iwenk tentu saja menolak niat saya. Bagaimana pun dia telah melatih saya menjadi perampok, mengajari saya menggunakan senjata, mementori saya berkelit dari kejaran polisi sekaligus negosiasi dengan mereka. Iwenk mengangkat saya jadi tangan kanannya yang paling bisa diandalkan. Laki-laki itu menganggap alasan saya keluar dari kompolotannya untuk menjaga bapak saya yang sudah tua terlalu mengada-ada.
“Kau bisa membayar orang untuk menjaga bapakmu.”
Tetapi tekat saya sudah bulat. Saya tidak peduli keberatan Iwenk. Saya adalah manusia bebas. Dengan berat hati Iwenk akhirnya mengizinkan saya keluar tapi dengan syarat saya sekali lagi ikut operasi. Setelah selesai operasi merampok sebuah toko emas, saya benar-benar meninggalkan kehidupan kelam yang saya tempuh bertahun-tahun bersama Iwenk. Sebelum saya pergi Iwenk berpesan untuk tidak ragu menghubungi dia lagi apabila saya berubah pikiran.
Yang mengubah pikiran saya ternyata adalah kawan masa remaja saya. Dia memohon kepada saya untuk menghabisi bapak mertuanya. Saya tidak kuasa menolak. Bukan karena melihatnya mengiba seperti bocah yang butuh pertolongan, melainkan karena saya merasa berutang budi kepada kawan saya.
***
RUMAH mertua kawan saya berdiri megah dikelilingi tembok tinggi dan tebal dengan pintu gerbang. Tampak halamannya luas dengan garasi mobil yang cukup untuk menampung lima mobil, dipisahkan taman yang tertata apik. Di seberangnya rumah kawan saya yang tak kalah megah. Dua orang penjaga duduk main catur di gazebo. Saya menyelinap dari pintu samping. Dengan tenang saya mengendap ke dapur, menyeberangi ruang tengah yang jembar menuju kamar utama. Di sanalah mertua kawan saya berada. Sejujurnya sangat jarang saya membunuh. Saya benci melihat darah. Selama hampir lima belas tahun dalam karir saya merampok, hanya tiga kali saya membunuh. Itu pun saya lakukan karena kondisi terpaksa. Saya membunuh korban-korban saya dengan cara mencekik dan membekap. Terakhir dengan mematahkan lehernya. Hampir semua korban perampokan yang saya lakukan bersama Iwenk adalah orang-orang kaya yang tamak. Mertua kawan saya termasuk orang tamak.
Saya memutar gagang pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Ketika saya masuk saya melihat orang tua itu sedang sembahyang. Terlihat khusyu sekali. Saya menunggunya menyelesaikan sembahyang...***
Aris Kurniawan menulis cerpen, puisi, dan resensi untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen terbarunya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019). Link medsosnya: @KepalsuanAris dan https://www.facebook.com/aris.kurniawan.35762/
Redaksi
Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.


















