CERPEN ILHAM WAHYUDI

​​​​​​​Anak Seorang Pencuri

Cerpen Minggu, 29 Juni 2025 - 12:52 WIB | 315 klik
​​​​​​​Anak Seorang Pencuri

ANGELIQUE VAN DER BORN/SAACHIART.COM

KETIKA ayah tepat berusia 35 tahun, seorang yang mengaku temannya datang berkunjung ke rumah kami. Aku tidak tahu maksud kedatangannya untuk apa: ingin merayakan ulang tahun ayah, atau malah mau menculik ayah? Bukankah seorang penculik memiliki banyak cara agar sukses mendapatkan targetnya? Pura-pura mau merayakan ulang tahun, eh, tahu-tahunya bawa borgol, kemudian membawa ayah pergi.

Sudah sering aku mendengar kisah serupa itu dari ayah. Makanya ayah selalu berpesan kepadaku agar menjadi perempuan yang tangguh, meski dunia dalam pikiran kebanyakan orang adalah lelaki bermisai panjang dengan otot kawat tulang besi. Ayah juga berpesan jangan pernah menangis, kecuali aku sedang bahagia. Air mata hanya boleh tumpah saat bahagia. Sebab tidak ada yang perlu ditangisi dalam dunia tipu-tipu nan palsu ini, begitu kata ayah setiap kali ia ingin keluar pergi mencuri.

Baca Juga : Pasar Janda

”Selamat malam, saya teman Asu. Eh, Anu, maksud saya. Bisa ketemu dengan Anu?” kata tamu itu sesaat setelah pintu aku buka.

”Ayah tidak ada di rumah. Anda siapa, kenapa mencari ayah?” jawabku tak sedikitpun menampilkan wajah takut. Mungkin karena darah pemberani ayah kental mengalir di darahku, sehingga mataku tak sedetik pun lepas memperhatikan orang itu.

Dia tampak kaget dengan pertanyaan serta sikap awasku.

”Saya? Saya Nganu. Saya perlu ketemu Anu, ayah kamu,” katanya macam tak percaya pada jawabanku.

”Maaf Bapak Nganu, ayah sedang sibuk-sibuknya mencuri. Kalau Bapak tidak percaya, mari masuk lihat sendiri,” kataku memberanikan diri.

Sejenak dia berpikir khusyuk, lalu buru-buru masuk. Akan tetapi, sesaat sebelum dia masuk, petir menggelegar seperti orang mengamuk. Mungkin dia terkejut dan akhirnya memutuskan buru-buru masuk karena nyalinya ciut. Aku persilakan dia duduk di kursi kayu yang sudah reyot penuh kenangan serta tikaman paku.

Dia, bapak yang mengaku bernama Nganu itu, menurut saja pada kata-kataku. Namun, setelah dia duduk dengan tenang dan damai di kursi kayu, terang aku lihat matanya celingak-celinguk: kadang ke kiri, kadang ke kanan. Seperti ingin memastikan ayah memang tidak ada di rumah. Aku melepaskan senyum kepadanya, lalu dengan sangat sopan, aku tawarkan dia minum, agar dingin di luar tak mengikutinya masuk.

”Bapak Nganu minum kopi atau teh?” tanyaku tulus menawarkan minum.

”Oh, kopi saja, Dik. Jangan tidak bergula, itu namanya pelit! Saya tahu gula sedang mahal, tapi tolong beri gula sedikit. Hidup di luar sana sudah terlampau pahit,” katanya sambil menyelipkan curahan hati yang terasa semakin menghimpit.

Mendengar dia berkata seperti itu, aku malah jatuh kasihan. Benar memang gula lagi mahal dan kami sedang tidak ada gula di rumah. Namun seingatku, di kaleng gula biasanya selalu ada sisa-sisa gula yang lengket. Aku pikir itu cukup untuk membuat kopi bapak Nganu terasa sedikit manis. Gegas aku menuju dapur membuatkan kopi untuk bapak Nganu.

”Silakan, Pak. Maaf kalau kurang manis dan tidak ada pisang goreng sebagai teman kopi. Mau beli, hujan di luar sedang hebat-hebatnya marah. Payung kami pun hanya satu dan itu juga tadi dibawa ayah saat pergi mencuri,’’ kataku menjelaskan.

Dia tersenyum, seolah menerima semua kejujuranku yang menjulur. Pelan diseruputnya kopi buatanku. Terlihat dia begitu menikmati kopi buatanku. Aku sebenarnya mau bilang, itu kopi terakhir. Jadi kalau dia minta tambah, aku tidak bisa menyanggupinya.

”Apakah ini kopi curian ayahmu?”*) tanyanya penuh curiga.

”Justru kopi yang suka mencuri jam tidur ayah,”*) jawabku lantang.

Dia menggerakkan dagunya naik turun, sehingga kepalanya tampak mengangguk, tanda paham atas jawabanku.

”Boleh saya bertanya, Dik?”

”Bukankah sedari tadi setiap Bapak Nganu bertanya, saya selalu menjawab? Untuk apalagi memohon pemakluman.”

”Kamu memang anak ayahmu, Dik” katanya sambil kembali menyeruput kopi. Lalu menyambung pertanyaan, ”Apa saja yang sering ayahmu curi?”

Aku diam sejenak. Aku raba arah mata angin pertanyaannya yang sedang berlayar ke dermaga mana berlabuhnya kelak. Namun tak aku temukan jejak pembajak.

”Ayah hanya mencuri kebebasan. Selain itu, Ayah tidak minat,” kataku sambil menatap matanya.

”Kebebasan seperti apa maksudmu, Dik? Boleh tolong dijelaskan kepadaku,” kata bapak Nganu yang terlihat antusias bertanya. Tetapi, apa mungkin dia sungguh tidak paham? Ah, sudahlah! Apa pun itu yang ada dalam pikirannya, aku pikir tak salah juga bila aku menjelaskan kepadanya.

”Kebebasan orang-orang yang ingkar pada janji. Kebebasan orang-orang yang diberi kepercayaan, tapi menukar kepercayaan itu dengan murah. Juga kebebasan orang-orang yang tak mampu membebaskan orang lain yang terkurung; terpenjara, yang membutuhkan kebebasan,” jawabku tegas.

Bapak Nganu manggut-manggut. Lalu buru-buru menyeruput kembali kopinya yang nyaris tandas. Aku memang selalu memperhatikan cangkir kopi setiap tamu ayah yang datang ke rumah. Bukan aku berlaku tidak sopan, aku hanya ingin memastikan kopi buatanku pas di lidah tamu ayah. Sedih rasanya bila tamu Ayah tersiksa akibat kopi buatanku yang tidak sesuai dengan lidah mereka.

”Biasanya jam berapa ayahmu pulang mencuri, Dik?” tanyanya mulai tak sabar menunggu ayah pulang.

“Bapak Nganu pernah mencuri?” aku balas tanyanya dengan tanya pula.

”Saya? Ee, mungkin pernah. Kenapakah, Dik?” ragu-ragu dia menjawab.

”Bapak memasang waktu sebelum mencuri?”

Bapak Nganu tersenyum. Dia seruput lagi kopinya. Tapi sayang, kopinya, ah...

”Kopinya habis, hehe...” bapak Nganu sangsi melepaskan tawanya. Seperti ingin minta kopi lagi, tapi sungkan karena mungkin dia pikir gula sudah tak ada. Andai dia tahu, sungguh ini bukan hanya perkara gula semata. Sebab, selain kopi tadi memang kopi terakhir, gas untuk menyalakan kompor pun senyata gas terakhir. Kami memang tidak pernah menimbun tabung gas di rumah. Sehingga bila kopi dan gula sekalipun masih ada, aku tetap tidak bisa membuatkannya kopi.

”Baiklah, saya pamit. Salam buat ayahmu. Semoga ayahmu tidak hilang dicuri hujan.*) Bukan apa-apa, hujan zaman sekarang juga bisa mencuri,” kata bapak Nganu sambil tersenyum.

”Bapak juga hati-hati! Sebab teman-teman ayah yang pernah datang ke rumah ini, juga banyak yang dicuri setelahnya. Entah siapa yang mencuri. Aku pikir itu juga alasan kenapa ayah mencuri. Mungkin ayah ingin mencuri kembali teman-temannya yang dicuri,” balasku pula sambil tersenyum.

Bapak Nganu macam terkejut mendengar penjelasanku. Lagi-lagi mungkin dia tak menyangka, perempuan serupaku —yang sedang sendiri pula— berani sekali berkata seperti itu kepada seorang yang tak dikenal.

Sambil berjalan ke arah pintu, Bapak Nganu berkata kepadaku, ”Terima kasih atas jamuan kopinya, Dik. Kopinya enak, pas sekali takaran gulanya di lidah saya,” kata Bapak Nganu memunggungiku. Tepat di mulut pintu, dia memutar tubuhnya menghadap ke arahku, lalu melanjutkan kata-katanya, ”Lain kali saya akan datang lagi, untuk membuktikan bahwa saya tidak bisa dicuri, juga sambil menikmati kembali kopi buatanmu bersama ayahmu yang pencuri itu tentunya.”

Aku tersenyum. Bapak Nganu pun berjalan pulang menembus hujan yang semakin terdengar tambah marah; tambah meriah.

Pada saat bapak Nganu sudah tak terlihat lagi oleh mataku, pelan perlahan dan akhirnya terdengar cukup jelas suara ayah dari kejauhan; dari dalam hujan yang marah.

’’Pergi! Cepat pergi! Jangan tunggu ayah kembali!”***

Akasia, 2025

 

*) Joko Pinurbo, ’’Anak Pencuri”, dalam buku Latihan Tidur (Desember 2017).

 

Ilham Wahyudi lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya Kalimance Ingin Jadi Penyair akan segera terbit.

 

 

 




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.