CERPEN MUHAMMAD ASWAR

Anjing Laut

Cerpen Minggu, 06 Juli 2025 - 13:03 WIB | 254 klik
Anjing Laut

id.carousell.com

HARI itu angin datang dari selatan, membawa bau asin dan kabar buruk. Letnan Muda Harun mencatat pergeseran angin di buku log, meski tak yakin siapa yang masih membaca laporan dari pulau seliar ini. Pulau Sabira, titik paling utara dari gugus Kepulauan Seribu, tempat di mana Indonesia berakhir sebelum langit menjadi milik internasional.

“Pak Letnan,” panggil Sersan Bahri dari menara pantau, “kapal asing lagi. Muncul dari arah barat laut.”

Baca Juga : Pasar Janda

Harun menutup bukunya, meraih teropong. Seperti hari-hari sebelumnya, kapal itu datang tanpa identitas jelas, melaju lambat, cukup dekat untuk dilihat tapi tidak cukup dekat untuk disentuh. Semacam permainan. Sebuah pernyataan diam bahwa mereka bisa mendekat kapan pun mereka mau.

Pulau Sabira tidak pernah masuk dalam peta wisata. Tak ada pasir putih atau resor mewah. Hanya mercusuar tua dari zaman Belanda, dua barak tentara, dan satu keluarga penjaga perbatasan yang ditugaskan sejak zaman Orde Baru. Mereka tinggal karena sudah tak tahu lagi bagaimana cara hidup di kota.

Harun baru ditempatkan di pulau itu tiga bulan lalu, menggantikan perwira lama yang pensiun. Ia datang dengan semangat pertahanan negara, tapi cepat menyadari bahwa semangat saja tidak bisa melawan kesunyian.

Setiap malam, ia mencatat laporan intelijen yang sama: kapal asing melintas, sinyal radar kabur, tidak ada respons dari pangkalan induk. Kode komunikasi sering tak dijawab. Sinyal terkadang mati total. Dalam beberapa minggu, ia mulai hapal jalur perlintasan kapal asing yang selalu memilih jam-jam paling sepi, seperti hantu yang tahu kapan manusia tertidur.

“Mereka sedang mengukur reaksi kita,” ujar Pak Sabirin, si kepala keluarga yang tinggal di pulau itu, sambil memancing di dermaga kayu. “Kalau kita diam terus, mereka akan tahu kita lemah.”

Pak Sabirin dulu tentara juga. Ia ikut operasi pembebasan Timor Timur tahun 1975. Kini ia lebih banyak bicara pada anjing laut yang sesekali muncul di sekitar batu karang.

“Dulu, kami jaga batas negara dengan darah. Sekarang, kalian jaga pakai laporan.”

Harun diam. Ada kebenaran pahit di balik sinisme itu.

Pernah suatu malam, suara mesin kapal terdengar sangat dekat. Semua pasukan berjaga. Lampu-lampu dimatikan. Kompas magnetik berputar tak tentu arah. Radio statik. Harun mengira saat itu mereka akan diserang. Tapi tak terjadi apa-apa. Hanya gelap dan bunyi laut.

Keesokan harinya, seekor anjing laut ditemukan mati di pantai, ada bekas luka di lehernya. Pak Sabirin menguburnya di belakang mercusuar. Malamnya ia minum arak sisa perayaan lama, dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan suara parau.

“Negara terlalu besar untuk mendengar pulau sekecil ini,” katanya.

Namun ancaman terus datang. Kapal tak dikenal makin sering melintas. Bahkan satu drone laut pernah ditemukan tersangkut di jaring nelayan. Warnanya hitam legam, tak ada nomor identitas. Harun menyimpannya di gudang, menunggu instruksi lebih lanjut yang tak pernah datang.

“Ini bukan ujian lagi,” kata Harun pada rapat malam kecil yang mereka adakan seminggu sekali. “Ini pengukuran. Mereka sedang memetakan kita.”

Tapi mereka tidak punya cukup senjata. Tidak cukup sinyal. Bahkan air bersih pun kadang harus ditampung dari hujan.

“Kalau perang datang, pulau ini akan jadi korban pertama. Dan pusat akan tahu saat semua sudah hangus,” kata Sersan Bahri.

“Kalau pusat tahu,” sahut Pak Sabirin.

Harun menulis surat ke Jakarta. Panjang. Penuh permohonan. Tapi ia tak yakin ada yang membaca. Ia mulai menulis catatan pribadi. Tentang bagaimana angin di Sabira punya suara seperti bisikan. Tentang bagaimana perbatasan bukan sekadar garis, tapi ruang sepi yang menunggu dijamah atau dilupakan.

Ia juga mencatat kebiasaan makhluk-makhluk laut. Tentang keluarga penyu yang datang bertelur di musim tertentu. Tentang anjing laut yang hanya muncul saat bulan menyilang miring. Tentang elang laut yang entah kenapa hanya bersarang di menara pantau, bukan di pohon.

Dua bulan kemudian, sebuah kapal besar berlabuh sangat dekat. Bertuliskan nama asing. Tak membunyikan radio. Tak mengibarkan bendera. Harun perintahkan alarm dibunyikan. Semua siaga.

Tapi tidak ada serangan. Tak ada panggilan. Kapal itu hanya diam. Sehari. Dua hari. Lalu pergi begitu saja.

Keesokan harinya, mereka menemukan mercusuar telah dicoret dengan cat merah: “INI BUKAN MILIKMU.”

Pak Sabirin duduk lama di bawah tulisan itu. Tak berkata apa-apa. Malamnya ia memeluk Harun dan berkata, “Jaga pulau ini. Bukan karena perintah. Tapi karena kalau kamu tidak, tak akan ada lagi yang mau.”

Hari-hari berikutnya terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Tak ada kapal asing selama tiga minggu. Tapi Harun merasa itu bukan kabar baik. Ia merasa mereka sedang menunggu.

Di suatu senja, seorang gadis dari kota—peneliti kelautan—datang dengan kapal logistik. Namanya Tania. Ia tinggal tiga malam, mengamati terumbu karang dan mencatat suhu air. Mereka bicara panjang soal perubahan arus dan migrasi plankton. Tapi Harun tahu, sesungguhnya yang sedang diukur Tania bukan hanya ekosistem, tapi ketahanan perbatasan.

“Kamu tahu,” kata Tania suatu malam di bawah mercusuar, “batas negara bukan cuma urusan militer. Tapi juga tentang siapa yang berani tinggal. Siapa yang sudi merasa sendiri.”

Setelah ia pergi, Harun merasa pulau itu semakin berat. Seakan satu-satunya orang dari dunia luar yang peduli, sudah kembali ke daratan.

Ia terus mencatat. Tentang bunyi sirip, angin, kabel komunikasi yang kadang berdengung seperti suara manusia. Ia mencatat bukan karena perintah, tapi karena takut kalau suatu saat pulau itu hilang, setidaknya ada yang mengingatnya.

Satu malam, ia bangun karena mimpi buruk. Dalam mimpi itu, seluruh Sabira dikelilingi kapal-kapal besar. Lalu api. Lalu hening. Ia berlari ke luar barak. Tapi yang ia temui hanya malam dan laut.

Di kejauhan, seekor anjing laut menatapnya dari atas batu. Diam. Seolah tahu lebih banyak dari siapa pun.

Harun menatap balik. Kemudian masuk ke dalam dan menulis, seperti biasa. Bukan untuk dilaporkan. Tapi untuk diingat.***

 

Muhammad Aswar adalah penikmat Sastra Arab dan pemerhati kajian Timur Tengah. Menjadi pembicara di LIFEs Salihara 2021. Menerjemahkan puisi Nizar Qabbani, Cinta Tak Berhenti di Lampu Merah (Circa, 2021); Surat Tuhan karya Albert Einstein (Circa, 2023); Pembangkangan Sipil karya Henry David Thoreau (Basabasi, 2024); Max Havelaar karya Multatuli (Basabasi, 2025). Tinggal di, Enrekang, Sulawesi Selatan.

 

 

 

 

 




Berita Terbaru

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Google+, Linkedin dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Redaksi

Kurator/Redaktur Cerpen: Andreas Mazland, Anton WP, Redovan Jamil, dan WS Djambak.
Sekretaris Redaksi: Andreas Mazland
Keuangan: Redovan Jamil
Redaksi RiauGlobe.id menerima tulisan berupa cerpen, maksimal 1.500 kata.
Silakan kirim ke email: riaumedia.globe@gmail.com.
Cerpen yang dimuat diberi honor.